YOGYAKARTA – Bantuan sosial yang diberikan atas nama program penanggulangi kemiskinan umumnya kerap digelontorkan pemerintah di hampir semua negara menjelang Pemilu. Dengan harapan, bantuan tersebut bisa memobilisasi dan mempengaruhi perilaku pemilih untuk memilih partai dari pemerintah yang berkuasa. Kendati setiap kebijakan tidak lepas dari kepentingan politik. Namun begitu, kebijakan pemberian bantuan sosial jelang pemilu dianggap kurang etis sehingga perlu dievaluasi atau ditunda setelah Pemilu selesai dilaksanakan.
Mulyadi Sumarto, Ph.D., pengajar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL UGM, mengatakan fenomena pemberian bantuan perlindungan sosial berupa bantuan tunai marak diterapkan pemerintah di negara-negara Amerika Latin sejak 20 tahun terakhir. Namun begitu, bantuan tersebut diberikan dengan syarat bahwa benar-benar diperuntukan untuk keperluan membiayai pendidikan dan kesehatan. Berbeda dengan Indonesia, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah dikucurkan pada tahun 2005 dan 2009 memiliki tingkat urgensi, maksud, dan tujuan berbeda. “Dari sisi urgensi, program BLT tahun 2005 dan 2009 berbeda,” kata Mulyadi dalam peluncuran dan bedah buku Perlindungan Sosial dan Klientelisme: Makna Politik Bantuan Tunai dalam Pemilihan Umum yang berlangsung di FISIPOL UGM, Senin (26/5).
Mulyadi yang sekaligus penulis buku yang diluncurkan tersebut menegaskan, pemberian BLT pada 2009 sebetulnya tidak perlu dilakukan. Pasalnya tidak ada kenaikan harga BBM padahal selama ini BLT dikaitkan sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM. Bahkan sebaliknya, harga BBM justru diturunkan oleh Pemerintah. Tidak hanya itu, angka inflasi pada saat itu merupakan yang terendah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. “Tahun itu tidak terjadi kesulitan ekonomi, dilihat dari tujuan, itu (BLT-red.) tidak relevan lagi,” katanya.
Berbeda pada tahun 2005, imbuhnya, BLT memang sangat diperlukan karena tingkat inflasi cukup tinggi. Didahului sebelumnya ada kenaikan harga BBM sehingga BLT merupakan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM yang memiliki dampak bagi kemampuan daya beli masyarakat miskin.
Mulyadi menengarai, pemberian bantuan BLT pada 2009 memiliki muatan politis. Salah satunya untuk memobilisasi suara pemilih untuk memilih partai yang berkuasa dengan cara melaksanakan program populis. “Apalagi pelaksanaannya berlangsung selama 19 bulan, hingga menjelang pilpres,” tuturnya.
Prof. Edward Aspinall, Ph.D., peneliti Australian National University (ANU), mengatakan masyarakat seharusnya berpikir kritis terhadap manfaat dari sebuah bantuan yang diberikan pemerintah. “Bagi saya secara umum, BLT bagian dari politik problematis yang sangat sarat manipulasi,” tukasnya.
Meski Edward mengakui setiap kebijakan memang selalu ada kepentingan politik di belakangnya karena hal ini terkait dengan persaingan partai politik dalam memenangkan pemilu. Bahkan kebijakan penggelontoran dana bantuan jelang pemilu ini terjadi di hampir semua negara bukan hanya di Indonesia. “Di Australia, menjelang pemilu, pemerintah selalu paling royal. Namun ketika baru terpilih mereka sangat pelit mengeluarkan anggaran, untuk biaya subsidi dan biaya tunjangan justru dikurangi,” paparnya.
Pengajar Komunikasi Fisipol UGM sekaligus Direktur Lembaga Survei Indonesia, Dodi Ambardi, Ph.D., menyebutkan ada 12 jenis program perlindungan masyarakat miskin yang diterapkan oleh pemerintah seperti PNPM atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, Raskin, dan BLSM. Bantuan sosial semacam ini diakui Dodi bisa mempengaruhi perilaku pemilih menjelang pemilu. Dia menyebutkan dari hasil survei yang dilakukan LSI pada 2009 pada responden yang kebetulan menerima BLT menegaskan mereka cenderung memilih partai atau capres yang memberikan dana bantuan yang sudah mereka dapatkan. “Korelasi yang sangat kuat, mereka yang menerima BLT, cenderung memilih partai pemerintah,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)