
YOGYAKARTA – Pengajar Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Dr. Faruk H.T., mengatakan kemunculan dua kubu bakal capres dan cawapres, Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, menunjukkan kecederungan keduanya melakukan resentralisasi kekuasaan sebagai jawaban atas kekuasaan yang sebelumnya dianggap begitu tersebar dalam bentuk politik ‘dagang sapi’. Namun begitu, kata Faruk, cara berpikir Joko Widodo dan Jusuf Kalla menegaskan mereka lebih berpikir pada materialistik, sedangkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berpikir secara idealistik. “Meski terlihat bertentangan, namun keduanya pada dasarnya sama-sama esensialis dan sentralistik,” kata Faruk saat menjadi pembicara seminar “100 tahun Stuart Hall” di Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (28/5).
Diakui Faruk, sosok Jokowi di tengah masyarakat dan media diidentikkan sebagai pencerminan pemimpin yang merakyat dan giat bekerja tanpa peduli dengan penampilan dan berani untuk terjun ke bawah. “Yang ditonjolkan adalah kemampuan dan semangat untuk bekerja, bukan sebagai pejabat, melainkan bekerja sebagai pelayan masyarakat,” katanya.
Sementara sosok Prabowo menurut Faruk mencitrakan dirinya sebagai sosok seperti raja-raja di zaman dulu; dengan naik kuda, mengunakan sorban dan dengan keris di pinggang. “Yang ditawarkan pencitraan atas pengembalian harga diri bangsa yang tidak boleh kalah dan mau didikte oleh asing dalam bersikap dan bertindak,” katanya.
Diakui Faruk, tidak ada yang salah dalam persepsi dan citra yang melekat pada kedua calon presiden tersebut. Namun Faruk menilai saat ini di tengah masyarakat tengah berkembang genre lewat iklan yang marak ditayangkan televisi yang menegaskan bahwa ‘becek is beautiful’. “Ada dua iklan yang sudah lama memilih genre ini dengan menganggap apa yang selama ini dianggap hina justru mulia, ‘kalau tidak kotor, tidak pintar’, ‘no black no game’,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)