Tingginya risiko bencana di Indonesia yang mengancam keselamatan jiwa penduduk Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah rawan bencana, perlu diperkecil dengan revisi tata ruang.
“Kondisi Indonesia yang rawan terhadap bencana menuntut dilakukannya revisi tata ruang berbasis risiko bencana untuk mereduksi risiko bencana,” kata Pengelola Program Master Geoinformasi Perencanaan Kawasan dan manajemen Risiko Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr HA Sudibyakto MS di Yogyakarta, Kamis sore (4/10) dalam Diskusi bulanan ‘Potensi Bencana Alam dan Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana’ di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM.
Menurut dia, meningkatnya jumlah penduduk yang rentan terhadap ancaman bencana, serta ketidakmampuan mereka dalam menghadapinya akan memperbesar risiko bencana. “Risiko bencana di Indonesia tergolong tinggi, karena selain disebabkan oleh banyaknyajenis bahaya, juga diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk yang rentan terhadap bahaya bencana,” katanya
Ia mengatakan, secara demografis jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan bencana meningkat, baik di kawasan pemukiman sepanjang aliran sungai, daerah pesisir, maupun daerah tangkapan air bagian hulu.
Letak wilayah Indonesia yang secara geologis terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, menyebabkan jalur subduksi aktif yang menimbulkan frekuensi kegempaan tinggi.
Secara geografis, Indonesia yang berada pada pada daerah tropika basah, juga berpotensi pada timbulnya hujan dengan intensitas tinggi. Potensi tersebut didukung oleh ancaman badai tropis di wilayah utara Australia dan Filipina, sehingga berpotensi menyebabkan banjir dan gelombang laut yang tinggi.
“Selain itu, secara geomorfologi dan hidrologi, Indonesia juga rawan terhadap berbagai bencana alam,” katanya.
Menurut dosen Fakultas Geografi UGM ini, meningkatnya frekuensi bencana akan memberikan dampak kerugian ekonomis yang besar, sehingga diperlukan upaya untuk merevisi tata ruang yang berbasis risiko bencana, serta dikembangkannya pendidikan dan pelatihan kebencanaan.
“Tata ruang yang dikembangkan di Indonesia belum banyak memperhatikan aspek risiko bencana, padahal kondisi tersebut juga diikuti meningkatnya jumlah penduduk,” katanya. (Humas UGM)