Yogya, KU
Peneliti dan pakar korupsi George Junus Aditjondro, Ph.D menilai bantuan asing asing bukanlah bantuan yang betul-betul menguntungkan masyarakat dari negara yang dibantu. Bantuan asing lebih merupakan suatu mekanisme untuk mendaur ulang uang pajak rakyat di negara-negara kaya sambil memperkaya elit negara-negara miskin.
George menambahkan, di Indonesia, fenomena ini mencuat sejak masa Orde Baru dimana rakyat di luar pusat kekuasaan makin terpinggirkan meski bantuan asing masuk berjuta-juta dollar sementara elit penguasa dengan kroni-kroninya makin tambun dengan timbunan kekayaan.
“Masuknya berbagai bentuk bantuan dari lembaga-lembaga internasional kepada negara-negara di Dunia Ketiga ternyata tidak selamanya bersih dari korupsi. Meski terselubung dengan namanya bantuan, tidak selamanya semangat kerjanya adalah benar-benar membantu rakyat di negara-negara miskin dan berkembang, termasuk di Indonesia,†kata George Junus Aditjondro, Ph.D dalam diskusi ‘Praktik Korupsi Berkedok Bisnis Bantuan’, Sabtu Sore (6/10), di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM.
Menurut George, sumber dana bantuan yang ada di Internasional NGO berasal dari International Official Development Assistance (ODA). Organisasi ini banyak berkolaborasi tidak hanya dengan pemerintah, tapi juga dari perusahaan multinasional (Trans-National Corporation). Sedangkan dalam menjalankan programnya International NGO selalu bekerjasama dengan pemerintah yang dinilainya memiliki dua kekuatan dalam melakukan hegemoninya, yakni degan kekuatan tentara dan birokrat.
“Saya mengalami sendiri saat menjadi konsultan Asia Foundation di Papua ketika membela pribumi papua saat menghadapi PT Freeport. Terasa sekali resistensi dari Asia Foundation di Jakarta, karena Freeport merupakan salah satu donatur bagi Asia Foundation,†jelas George Junus Aditjondro, yang dikenal sebagai pelacak harta kekayaan Mantan Presiden Soeharto.
Selama lima tahun bekerja di Asia Foundation, george mengaku dirinya bahkan tidak diperbolehkan oleh militer untuk melangkah masuk ke daerah tembaga pura, itu pun hanya diperbolehkan masuk sampai ke Timika saja.
George yang kini banyak meneliti kasus praktik korupsi di Sumatera bagian utara (Aceh dan Sumatera Utara), mengakui banyak hasil bantuan dari lembaga internasional yang masuk ke Aceh pasca bencana tsunami yang tidak mensejahterahkan rakyat.
“Ini juga yang saya amati di Aceh, tetap saja tidak terjadi reformasi transformasi struktural dalam bidang kenelayanan, saya kira donor yang masuk ke sana tidak melihat siapa yang sesungguhnya pemilik tambak, pemilik pemijahan udang dan pemilik kapal nelayan. Di aceh sekarang malah sudah ada nelayan berdasi, kalo bukan birokrat ya pasti tentara, atau juragan pemasok pakan ikan, jadi bukan nelayan pondok,†tuturnya.
Menurut George, meskipun trilyunan uang berhamburan yang masuk ke Aceh, nelayan pondok masih tetap mendayuh dengan perahu dayung, sementara perahu bermotor yang bisa melaju sampai ke Malaysia bukanlah dimiliki oleh nelayan kecil. Ironisnya, terang George, Bank Dunia (World Bank) sudah mengklaim sudah melakukan reformasi di Aceh dengan jalan memberikan sertifikat tanah buat orang Aceh, yang oleh George dianggap sebagai pedang bermata dua. (Humas UGM)