YOGYAKARTA – Mulai 1 Juli 2014 pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan TDL akan diberlakukan kepada enam golongan seperti industri I-3 non-go public, pemerintah P2, penerangan jalan umum P3, serta rumah tangga yang memasang daya listrik mulai 1.300 VA, 2.200 VA, dan 3.500 VA. Terkait kebijakan tersebut, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna mengatakan penerapan kebijakan kenaikan TDL harus mempertimbangkan aspek keadilan dan kewajaran. Namun begitu, penerapan kebijakan kenaikan listrik bagi industri dan rumah tangga yang memasang daya listrik cukup besar dinilai masih wajar.
Dari hasil studi Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) 2012 yang dilakukan oleh PSKK UGM bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia memasang daya listrik kurang dari 900 watt. Maka, kenaikan TDL sebenarnya kurang berpengaruh langsung terhadap rumah tangga. “Namun, lain cerita bagi industri, dan bisnis. Sikap mereka bisa jadi akan turut menaikkan harga-harga barang,” kata Hadna, dalam rilis yang dikirim Jumat (20/6).
Selain sektor industri dan bisnis, kenaikan TDL menurut Hadna menjadi dilematis pula bagi wilayah-wilayah seperti Indonesia bagian timur. Berbeda dengan wilayah-wilayah di Pulau Jawa yang relatif mudah mengakses listrik, di sana tidaklah demikian. Minimnya sumber serta pasokan listrik di beberapa daerah harus dipertimbangkan oleh pemerintah. “Pertanyaannya kemudian apakah kenaikan TDL ini harus diberlakukan sama bagi tiap daerah? Bisa atau tidak jika subsidi pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan energi itu dialokasikan lebih besar ke daerah daerah yang sumber serta akses listriknya minim. Saya pikir pemerintah perlu untuk menggali lebih jauh tentang persoalan ini,” jelas Hadna lagi.
Agus Joko Pitoyo, M.A., salah satu anggota peneliti PSKK UGM, menegaskan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik yang bersumber dari Perusahaan Listrik Negara, yakni 96,4 persen. Lalu, sebanyak 80,9 persen rumah tangga pengguna listrik PLN tersebut, memasang daya kurang dari 900 watt. Studi ini dilakukan di enam kawasan Indonesia, meliputi Jawa, Sumatera, Bali—Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku—Papua. Adapun jumlah responden rumah tangga yang terlibat dalam studi ini mencapai 6.048 rumah tangga.
Berdasarkan wilayah, penduduk di Pulau Bali dan NTT memiliki perilaku hemat listrik paling tinggi dibanding dengan wilayah lainnya, yakni 81,3 persen. Sementara penduduk di Pulau Jawa memiliki perilaku hemat listrik yang paling rendah, yakni hanya mencapai 42,2 persen. Faktor yang menyebabkan penduduk di Jawa berperilaku tidak hemat listrik karena tingkat ekonomi dan ketersediaan fasilitas yang dimiliki oleh rumah tangga reatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. “Ketergantungan penduduk di Jawa terhadap penggunaan peralatan yang menggunakan listrik juga cukup tinggi sehingga konsumsi listrik menjadi tinggi,” ujar Joko.
Asisten Deputi Komunikasi Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Dra. Siti Aini Hanum, M.A., mengatakan isu lingkungan hidup seperti perilaku hemat listrik, energi dan air memang belum menjadi agenda prioritas oleh pemerintah. Padahal program pengelolaan lingkungan hidup sudah menjadi kewenangan masing-masing pemerintah daerah. Tidak hanya itu saja, anggaran belanja di KLH hanya berkisar 0,1 persen dari total belanja APBN. “Apalagi di daerah, anggaran SKPD (Satuan Kerja perangkat Daerah–red.) lingkungan hidup dianggap paling boros karena lebih banyak mengeluarkan uang saja,” katanya.
Menurutnya, pemerintah mendatang diharapkan lebih memprioritaskan isu-isu di bidang pembangunan lingkungan hidup. Selama ini menurutnya pemerintah hanya peduli pada isu ketahan pangan dan energi, tidak pada isu ketahanan lingkungan hidup. “Semoga pemeritahan berikutnya bisa lebih peduli,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)