BANTUL – Pengajar Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Sigit Supadmo Arif, M.Sc., mengatakan sekitar 7,2 juta hektar lahan pertanian di Indonesia yang menggunakan irigasi. Namun lambannya perbaikan infrastruktur, diperkirakan hanya sekitar 60 persen bangunan irigasi dalam kondisi baik. “Irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kondisinya banyak yang rusak dan tidak diperbaiki,” kata Sigit ditemui di sela mendampingi puluhan alumni UNESCO-IHE Institute for Water Education Belanda yang meninjau lokasi Irigasi Tegal Kiri, Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, Rabu (25/6).
Tidak hanya di Indonesia, imbuhnya, sistem irigasi hampir di seluruh dunia menunjukkan kemunduran kinerja manajemen akibat kerusakan infrastruktur, terjadinya sedimentasi di dalam sistem, tumbuhnya tanaman pengganggu yang berlebihan, penyumbatan saluran drainase, serta terjadinya perubahan muka air tanah secara berlebihan. Menurutnya, menyikapi adanya dinamika perkembangan masyarakat saat ini maka usaha yang perlu dilakukan adalah melakukan modernisasi irigasi dan pembaharuan kebijakan tentang pengelolaan irigasi. Kendati pembangunan irigasi dominan masih berada di Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi.
Salah satu bentuk pengelolaan irigasi yang saat ini didorong oleh Tim FTP UGM adalah melakukan Gerakan Irigasi Bersih di beberapa kelompok tani di Kabupaten Bantul dan Sleman. Gerakan ini dilakukan untuk memberdayakan petani untuk menjaga saluran irigasi agar mereka tidak bergantung pada pemerintah. “Gerakan ini mengajak petani merawat saluran irigasi mereka sendiri, tidak mengaharapkan bantuan dari luar,” katanya.
Lewat gerakan ini, tambhanya, tidak hanya mengajak masyarakat untuk bergotong-royong membersihkan saluran irigasi. Namun lebih dari itu, pesan yang ingin disampaikan bahwa proses pengelolaan dan pemeliharaan irigasi menjadi tanggungjawab bersama sehingga butuh komitmen dan integritas dari para petani.
Terkait dengan ide modernisasi irigasi, Sigit memaparkan, pemerintah kini tengah menyiapkan program kebijakan modernisasi irigasi dengan melibatkan pakar dari UGM, ITB, Kementerian PU dan Kementerian Pertanian. Sigit sendiri mengaku dirinya terlibat dalam tim penyusuan kebijakan moderinsasi irigasi untuk tahun 2015-2020 tersebut. “Ada lima pilar yang kita tekankan, saluran irigasi, infrastruktur, pengelola, model kelembagaan dan manusianya. Kita mulai dari sisi pembangunan manusia dan institusinya, setelah itu baru kita fokus pada infrastruktur,” katanya.
Sumarji, salah satu anggota kelompok tani Ngupoyo Tirto mengatakan Gerakan Irigasi Bersih yang digagas oleh FTP UGM telah memotivasi ia bersama anggota kelompoknya rutin membersihkan saluran irigasi tiap dua bulan sekali. Kendati saluran irigasi yang sumber airnya berasal dari aliran Sungai Opak tersebut belum dibangun secara permanen oleh Pemerintah, petani secara swadaya merawat saluran irigasi yang mampu menampung debit air 400 liter per detik.
Lebar saluran air yang hanya 1,5 meter dengan kedalaman 80 cm ini, setidaknya nampu mengairi ratusan hektar sawah milik 2.000-an petani di Desa Sriharjo. Namun begitu, petani di daerah ini tidak bisa menggantung hidupnya dari pertanian semata karena rata-rata mereka hanya memiliki 0,1 hektar lahan pertanian. “Menutupi kebutuhan hidupnya, istri mereka bekerja sebagai buruh rempeyek,” kata Sukapjo, Kades Sriharjo. (Humas UGM/Gusti Grehenson)