Apron anti radiasi merupakan salah satu alat pelindung yang wajib digunakan para pekerja radiasi. Dengan alat tersebut diharapkan mampu memproteksi tubuh dari paparan radiasi. Sayangnya kebanyakan apron di pasaran dibuat kurang memperhatikan aspek kenyamanan dan kemudahaan bagi penggunanya.
Berawal dari kenyataan tersebut empat mahasiswa Jurusan Teknik Nuklir yakni Akhmad Aji Wijayanto, Faiz Asyifaa Mohtar, Sita Gandes Pinasti, dan Firliyani Rahmatia N; serta Anggraeni Ayu R mahasiswi Jurusan Pendidikan Dokter, mulai mengembangkan apron dengan memakai bahan kulit sinteis dengan filler timbal yang ringan dan fleksibel.
“Apron yang biasa dipakai misalnya di unit radiologi rumah sakit dan instansi penelitian nuklir terbuat dari plat timbal berlapis kain sehingga berat dan kaku, tertekuk sedikit saja bengkok tidak bisa kembali ke bentuk awal. Hal ini tentunya menyulitkan pengguna dan tidak memberikan rasa nyaman,” jelas Akhmad saat bincang-bincang dengan wartwan, Rabu (20/7) di Ruang Fortakgma UGM.
Apron yang diberinama RADEN (rompi anti radiasi pengion) ini terdiri dari tiga lapisan. Lapisan atas atau luar berupa kulit sintetis. Kemudian lapisan tengah merupakan lapisan utama berisikan campuran bahan PVC (Polyvinile Chloride), DOP (Di -2-ethylexy Phthalate) dan serbuk timbal (PbO dan PbCl2). Berikutnya lapisan dasar atau dalam yang berupa kain sebagai penguat apron.
Penggunaan berbagai bahan tersebut menjadikan apron lebih fleksibel dan ringan. Bahkan mampu menekan berat hingga 30 persen dibandingkan dengan apron pada umumnya. Sementara rata-rata apron yang digunakan di rumah sakit memiliki berat hingga 5 kilogram karena pembuatan yang menggunakan bahan berlapis-lapis.
“Tak hanya itu, dari segi produksi juga lebih hemat. Kalau apron di pasaran biasanya dijual diatas Rp. 2,5 juta, sedangkan apron ini menghabiskan biaya produksi sekitar Rp. 1,5 juta,” paparnya.
Sebelumnya Akhmad dan rekan-rekanya melakukan uji atenuasi gama terhadap berbagai macam variasi komposisi bahan untuk mengetahui kemampuan bahan dalam menyerap radiasi gama dengan sumber Cs-137. Komposisi terbaik dengan nilai koefisien atenuasi terbesar yang selanjutnya digunakan sebagai bahan utama.
“Apron ini mampu menahan paparan energi gama tingkat sedang hingga 662 keV,” ungkapnya.
Selain uji ateunasi gama, juga dilakukan uji tarik dan mulur bahan. Hasilnya diketahui material apron dari kulit sintetis ini memiliki kekuatan tarik sebesar 500 N, melebihi standar SNI-1294 2009 yaitu sebesar 180 N.
“Kalau kemampuan mulurnya sampai 15 persen. Masih dalam batas standar kemampuan mulur bahan yakni antara 13-20 persen. Jadi apron ini sifatnya lentur dan fleksibel sehingga nyaman dipakai,” kata Faiz menambahkan.
Faiz berharap apron tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan akan apron yang aman terhadap radiasi gama sedang. Memberikan perlindungan terhadap radiasi dan juga memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi para penggunanya.
“Semoga karya kami ini bisa memeberikan kontribusi positif bagi perkembangan sistem proteksi dan keleamatan radiasi di Indonesia,” tutupnya. (Humas UGM/Ika)