![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/21071414059243611771216300-682x510.jpg)
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI) bersama Institut of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik (MAP) FISIPOL UGM berencana menyampaikan tiga rekomendasi arsitektur kabinet 2014-2019 kepada presiden terpilih nantinya. Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menciptakan tatakelola pemerintahan yang lebih efektif, efisien, dan akuntabel.
Tri Widodo Wahyu Utomo, SH., M.A., Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara,Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur mengatakan postur kelembagaan pemerintah pusat meliputi kementrian, lembaga pemerintah non kementrian, lembaga non struktural, dan sekretariat lembaga negara saat ini masih belum tepat ukur (rightsized) dengan kebutuhan dan beban kerja organisasi. Sementara keberadaan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kementrian Negara masih belum mampu menghadirkan potret kelembagaan pusat yang tepat ukuran, tepat fungsi, efisien, dan efektif. Bahkan jumlah kelembagaan pemerintah pusat terus mengalami penambahan signifikan, terutama pada lembaga non struktural.
“Dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II terdapat 34 kementrian. Namun kinerjanya tidak efisien, over laping, dan tidak maksimal. Untuk itu kami mengajukan tiga opsi arsitektur kabinet 2014-2019,” jelasnya, Senin (21/7) dalam diskusi publik “Arsitektur Kabinet 2014-2019: Meretas Jalan Pemerintahan Baru”, di Gedung MAP UGM.
Tri Widodo mengatakan banyaknya kelembagaan pada pemerintah pusat di Indonesia tidak hanya mempersulit koordinasi antarkementrian maupun lembaga. Namun, dengan struktur organisasi yang membengkak menyebabkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif.
“Setiap masalah selalu dijawab dengan penambahan struktur, anggaran, SDM, seolah itu adalah solusinya. Padahal dengan berbagai penambahan tersebut justru menciptakan persoalan baru yang menyebabkan tumpang tindih tugas dan fungsi antar lembaga pemerintah dan menimbulkan biaya tinggi,” terangnya.
Menurutnya birokrasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi regulation trap atau jebakan regulasi. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya peraturan yang dibuat di era desentralisasi dan reformasi. Sementara tingkat kepatuhan kementrian dan lembaga negara terhadap regulasi rendah.
“Birokrasi sulit bergerak karena banyaknya aturan yang ada. Karenanya perlu untuk melihat lagi struktur kabinet seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan. Untuk itu kita beri rekomendasi penataan kelembagaan pada pemerintahan selanjutnya,”ujarnya.
Terdapat tiga opsi arsitektur kabinet yang diajukan untuk pemerintahan baru kedepan yaitu ideal, moderat, dan realis (soft). Struktur kabinet dalam opsi ideal terdiri dari 20 kementrian dan 1 kantor kepresidenan. Sedangkan pada opsi moderat, struktur kabinet memiliki 24 kementrian dan 1 kantor kepersidenan. Sementara dalam opsi realis, struktur kabinet nantinya akan memiliki 24 kementrian, dua menteri koordinator, dan 1 kantor kepersidenan.
Adanya perampingan organisasi, lanjutnya, akan berimplikasi pada penghematan anggaran yang sangat signifikan. Misalnya saja penghapusan 1 eselon di lembaga pemerintah non kementrian bisa menghemat Rp. 435.400.000,-.
Dalam penentuan opsi arsitektur kabinet baru, Tri Widodo menjelaskan dasar pijakan yang digunakan adalah untuk menjaga keseimbangan antara beban tugas dan rentang kendali organisasi dengan kendali organisasi dengan ukuran organisasi. Disamping itu opsi yang dipilih dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas kepemerintahan, memperkuat sistem presidensiil, serta memperkuat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pendapat senada disampaikan Dekan FISIPOl UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. Menurutnya, kelembagan pemerintahan pusat di Indonesia memiliki struktur yang sangat besar dibandingkan negara lainnya seperti China, Amerika Serikat, dan India. Padahal negara-negara tersebut berpenduduk lebih besar daripada Indonesia.
“Ukuran tersebut jadi konsern untuk dikritisi apakah ukranya sudah tepat?” katanya.
Erwan menyebutkan dalam penyusunan kabinet, pemerintahan saat ini masih berdasar pada praktek-parktek di pemerintahan jaman orde baru. Salah satunya dalam penamaan kementrian masih mengikuti tradisi pemerintahan jaman orde baru.
“Karena urusan kabinet mendatang berbeda dengan kelembagaan pemerintah orde baru harapannya nomenklaturnya juga berbeda dan inovatif,” tuturnya.
Sementara Kepala BAPPEDA DIY, Tavip Agus Rayanto, M.Si., menambahkan dalam penyusunan rekomendasi opsi arsitektur kabinet baru hendaknya juga berdasar visi misi capres-cawapres. Pasalnya dari dua pasang capres-cawapres akan melahirkan struktur yang berbeda satu sama lain.
“Dua pasang capres-cawapres bisa melahirkan struktur berbeda karena pendekatan subtansialnya juga berbeda sehingga penting organisasi yang disusun berdasar visi-misi masing-masing,” Tavip menyarankan.
Tavip mengatakan dalam penyusunan kelembagaan pemerintah pusat nantinya hendaknya melihat fungsi dari tiap kelembagaan yang dibentuk. Harapannya kelembagaan yang dibentuk dapat berfungsi memberikan perlindungan, mensejahterakan, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat. (Humas UGM/Ika)