YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada mewisuda 1.683 lulusan sarjana dengan lama studi rata-rata 4 tahun 4 bulan. Waktu studi tersingkat diraih Teuku Hidayatul Awwalin dari prodi Ilmu Pemerintahan yang lulus dalam waktu 3 tahun 8 bulan 10 hari. Adapun lulusan termuda diraih oleh Wistiani Tri Wardani dari prodi Farmasi yang lulus pada usia 19 tahun 11 bulan.
Pada wisuda kali ini, sebanyak 601 atau 35,80% lulusan mendapat predikat kelulusan Cum Laude. Sementara nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 3,33, dimana dua orang wisudawan berhasil meraih IPK 4,00. Mereka adalah Sartika Intaning Pradhani dan Renatha Febrianti. Keduanya berasal dari prodi ilmu Hukum, Fakultas Hukum.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., dalam pidato sambutannya mengatakan IPK tidak cukup bagi setiap lulusan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai seperti yang diinginkan. Namun begitu, Ijazah dan IPK adalah sebuah ‘tiket awal’ untuk mendapatkan sebuah pekerjaan, setelah itu banyak proses tahap seleksi yang harus dilalui. “Memang IPK jadi syarat untuk mendaftar tapi selebihnya ada tes potensi akademik, ada tes terkait keterampilan teknis, kemampuan berkomunikasi, kepemimpinan, manajerial dan masih banyak lagi,” kata Rektor.
Selama kuliah, mahasiswa UGM sudah dipersiapkan untuk memiliki kapasitas yang diinginkan industri pasar kerja. UGM menyediakan berbagai wadah kegiatan mahasiswa baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai tempat untuk menempa diri. “Banyak sekali unit kegiatan mahasiswa yang tersedia di UGM,” katanya.
Mahasiswa yang aktif di unit kegiatan mahasiswa menurut Pratikno bisa mengasah kemampuan diri dalam hal kemampuan bekerjasama, dedikasi, serta komitmen mengatur waktu dan prioritas. “Dan tentu saja, karakter dan kepribadian khas yang dimiliki lulusan UGM yang dikenal sebagai universitas pancasila, universitas kebangsaan dan sebagai pusat kebudayaan, itu semua sebagai tambahan modal untuk bisa masuk dan berkompetisi di pasar kerja,” terangnya.
Meskipun demikian, imbuhnya, lulusan UGM juga dianjurkan tidak sepenuhya memilih berkompetisi di pasar kerja. Mereka juga harus terjun di bidang kewirausahaan. Pasalnya Indonesia membutuhkan banyak wirausaha untuk bisa berkompetisi di era kompetisi global. Sebab itu, profesi wirausaha di kalangan anak muda harus didorong semaksimal mungkin. “Persentase wirausaha di Indonesia masih kurang dari 1 persen dari total jumlah penduduk. Di era persaingan global, seharusnya kita sudah masuk di angka dua digit atau 10 persen,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)