Yogya, KU
Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta selama empat tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949 ibukota Republik Indonesia ada di Yogyakarta.
Berpindahnya ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah ke Yogyakarta.
“Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX,†ungkap Prof Dr Suhartono Wiryopranoto dalam Orasi Budaya ‘Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Republik Yogya’, Sabtu malam (29/12) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM.
Dalam orasinya, sejarawan UGM ini menegaskan kembali bahwa dari yogyalah persoalan politik bangsa dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan baik berkat kepemimpinan HB IX.
“Sudah bukan rahasia lagi bahwa HB IX berperan besar dalam mengelola Republik Yogya sehingga semuanya berjalan lancar dan cita-cita Republik menuju persatuan bangsa dan pengakuan kedaulatan dapat terlaksana dengan baik,†katanya.
Menurut Suhartono, dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi agresi militer Belanda.
“Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia,†tegasnya.
Lebih jauh Suhartono menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat.
“Dorojatun muda memang sangat dekat dengan rakyat, tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang,†tandasnya.
Dikatakan Suhartono, prinsip HB IX bahwa ‘Tahta untuk rakyat’ adalah sebuah perubahan paradigma yang sangat luar biasa sebagaimana tersirat bagi kewajiban seorang raja mengayomi rakyat dengan pengorbanan moril dan materiil yang tulus.
“Kejujuran dan kesederhanaannya merupakan dasar kepribadiannya demi kemanunggalan antara Sultan dan kawulanya (rakyat),†tambah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Sementara itu, ketua penyelenggara orasi budaya Prof Dr dr Sutaryo, SPA dalam sambutannya mengungkapkan bahwa keteladanan HB IX perlu dicontoh dalam membangun NKRI ke depan.
“Melalui acara ini kita bisa meneladani semangat nasionalisme dan semangat perjuangan HB IX bagi NKRI, “ harapnya.
Tampak hadir Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi M.Eng, PhD, Wakil Rektor Senior Bidang Administrasi dan SDM UGM Dr Ainun Naim, MBA, Prof Gunawan Sumodiningrat, Prof Dr Teguh Aryandono, beberapa pejabat Dekan Fakultas, para Guru Besar UGM, dan tamu undangan . (Humas UGM/Gusti Grehenson)