YOGYAKARTA – Prioritas pembangunan pemerintah mendatang diharapkan untuk difokuskan di tingkat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dan pemerataan pembangunan. Pasalnya, sepanjang sejarah 68 tahun merdeka, 72 ribu desa yang kini sebagai tempat tinggal bagi 50,02 persen penduduk terus mengalami marginalisasi, keterisolasian, keterbatasan akses sumber daya, akses pembangunan, serta keterbatasan pada akses politik. “Desa masih merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan sosial. Terus mengalami keterisolasian, secara politik tertinggal dari orang kota, bahkan sering jadi objek politik,” kata Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Dr. Bambang Hudayana, M.A., dalam diskusi Pembaruan Desa dan Reforma Agraria di ruang seminar PSPK UGM, Selasa (26/8). Hadir juga sebagai pembicara lainnya, Sosiolog UGM, Dr. Arie Sudjito; dan Anggota DPR RI, Budiman Sudjatmiko.
Bambang mengatakan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dimungkinkan menitikberatkan pembangunan di tingkat desa seiring dengan lahirnya Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa. “Undang-undang ini potensial untuk payung penguatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat desa tetapi masih miskin roadmap dan rencana agenda aksi,” tuturnya.
Bambang mengusulkan desa tidak lagi sebagai area proyek pembangunan namun lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Pengalaman selama ini, katanya, umumnya proyek yang dilaksanakan di desa dianggap tidak populis dan tidak memperkuat perekonomian desa. “Akibatnya, dalam jangka panjang, pembangunan lebih dirasakan oleh masyarakat kota, golongan elit, dan kelas menengah,” katanya.
Tidak hanya itu, imbuhnya, reformasi agraria yang diemban oleh pemerintah saat ini masih sebatas jargon dan tidak menjawab masalah struktural dan sistematis masyarakat desa.
Budiman Sudjatmiko mengatakan UU Desa ini memungkinkan masyarakat bisa terlibat langsung dalam proses perencanaan pembangunan serta ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat. Meski UU ini sudah diterbitkan, namun pemerintah hanya menggelontorkan dana sekitar Rp 9 triliun dari Rp 64 triliun yang diajukan dari APBN untuk dialokasikan ke Desa. “Artinya hanya Rp 450 juta yang disediakan untuk desa, pasca pergantian pemerintah, kita harapkan dari tahun ke tahun dananya akan meningkat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, UU Desa ini membawa misi untuk memberantas kemiskinan di desa, mencegah urbanisasi, membangun sentra ekonomi baru di desa serta lahirnya kelas menegah baru di desa. “Belajar dari Brasil, sekitar 40 persen dana pembangunan dibahas oleh komunitas, sehingga memunculkan 10 persen kelas menengah baru dari kampung-kampung kumuh,” katanya.
Sosiolog, Arie sudjito, mengatakan UU Desa bukan semata-mata urusan tentang pembagian dana dari pusat ke desa. Namun UU ini memungkinkan masyarakat desa ikut serta dalam proses pembangunan. Tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah mendatang menurut Arie, pada lambannya kerja birokrasi untuk mendukung percepatan pembaruan desa dan reforma agraria, sehingga masyrakat sipil menurutnya terus mengawal reformasi birokrasi agar bisa selaras degan pembaruan desa. “Kita harus mengawal, jika tidak, akan muncul pencoleng-pencoleng baru,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)