Yogya, KU
Peneliti tempe UGM Prof. Dr Ir Mary Astuti mengungkapkan bahwa salah satu penyebab kematian dari 10 korban meninggal di desa Kanigoro, kecamatan Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, adalah buruknya sanitasi bukan keracunan “tempe gembosâ€.
“Perkiraan kami, lingkungan yang tidak sehatlah yang menjadi penyebabnya, sebab tidak ada sisa tempe gembos yang sampai busuk yang kita temui di lapangan, dan tempe gembos yang diperdagangkan di pasar-pasar pun selalu habis,†ungkap Prof Dr Mari Astuti pakar tempe dari UGM ketika menjelaskan hasil temuannya di Magelang yang dilaksanakan pada hari Jumat kemarin (3/8).
Bahkan, Mary menduga adanya infeksi bakterti E colli, dan kemungkinan bakteri ini sudah menyebar ke berbagai tempat, sehingga ia mengusulkan agar diperlukan pengujian dan observasi lebih lanjut termasuk pemeriksaan pada orang-orang yang masih sehat di lokasi tersebut.
Bakteri ini, menurut Mary berasal dari satu-satunya mata air yang digunakan oleh penduduk setempat. Air ini kemudian didistribusikan melalui perpipaan ke rumah-rumah penduduk.
Dari sumber pencemaran (air minum), tambah Mary, barangkali mengandung strain tertentu dari bakteri E. Colli yang tidak terdeteksi yang bersifat mematikan. Bersama tim nya, Mary sempat meninjau beberapa lokasi rumah penduduk yang bermukin di dekat areal rumah para korban tersebut, “Kondisi sanitasi lingkungan juga masih buruk, kami melihat beberapa rumah yang menurut kami tidak layak huni dan belum memenuhi standar kesehatan, lebih menyedihkan lagi hampir setiap keluarga punya kandang sapi di samping rumah mereka, bahkan ada kandang sapi yang menyatu dengan rumah,†kata Mary kepada wartawan Sabtu pagi (4/8) di Kampus UGM.
Seperti diketahui sebelumnya, jumlah orang yang menjadi korban sekitar 31 orang terdiri 21 orang perempuan dan 10 laki-laki. Sedangkan korban meninggal berjumlah 10 orang, yakni 9 perempuan dan satu laki-laki.
Mengenai penderita keracunan yang kebanyakan ibu-ibu, menurut dia karena selain kandungan sel darah merah wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, juga karena mereka paling dekat dengan sumber kontaminan.
“Para wanita itu lebih banyak bekerja di rumah dan berhubungan dengan hewan ternak seperti membersihkan kotoran ternak, sehingga mereka rentan terkontaminasi bakteri E.Colli tersebut,†jelasnya.
Tidak ditemukan Bakteri Pseudomonas Cocovenenans
Dari hasil pengamatan Mary, dirinya tidak menemukam kemungkinan adanya bakteri pseudomonas cocovenenans pada tempe gembos seperti yang digembar gemborkan oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K), di berbagai media beberapa waktu lalu. Mary beralasan, tidak ada sama sekali bahan yang digunakan untuk membuat tempe gembos berasal dari ampas kelapa (sumber bakteri-red). Dari pengamatan di lapangan pun, tempe gembos yang dihasilkan ternyata jamurnya merata, berwarna putih, terlihat segar dan tidak bau.
“Dari sisi kenampakan, kecurigaan kearah sana (pseudomonas cocovenenans) tidak ada, mungkin selama ini kecurigaan ke arah bakteri ini terlalu di besar-besarkan,†imbuhnya.
Mary mengaku dirinya memantau semua tempe-tempe gembos yang dijual di pasar-pasar dan hasilnya tidak terlihat indikasi mengandung jamur tersebut. Mary menjelaskan, dari penampakan fisiknya, jika tempe gembos mengandung pseudomonas cocovenenans, maka akan menghasilkan racun asam bongkrek.
“Kalo ada asam bongkreknya, tempe tidak akan jadi, padahal tempe itu harus tertutup penuh mycelia jamur,†ujarnya. (Humas UGM)