YOGYAKARTA – Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) membentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN). Anggota majelis ini terdiri atas 7 orang yang berisi para pakar, akademisi dan tokoh masyarakat. Lembaga yang bersifat independen ini rencananya berada di bawah naungan presiden yang akan memberi pertimbangan terkait pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia. “Dalam waktu dekat akan dibentuk panitia seleksi, dalam 3-6 bulan ke depan lembaga ini akan terbentuk,” kata Asisten Deputi Iptek Masyarakat, Kemenristek, Drs. Sadyatmo, M.T., pada acara sosialisasi Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir dihadapan para perwakilan akademisi, mahasiswa dan tokoh masyarakat di Hotel Jayakarta, Kamis (28/8).
Hadir sebagai narasumber, pakar teknologi limbah nuklir dari Jurusan Teknik Fisika UGM, Ir. Susetyo Hario Putro, M.Eng, Kepala Pusat Sains dan Teknologi Akselerator (PSTA) BATAN, Susilo Widodo, Kasubid Harmonisasi Bidang Kesra, Kemenkumham, Bunyamin SH, MH, dan Kepala Bagian Biro Hukum dan Humas BATAN, Estopet.
Sadyatmo mengatakan, keberadaaan Majelis ini diharapkan bisa memberikan pertimbangan pada Presiden terkait dengan pengembangan teknologi nuklir. Dikatakan Sadyatmo, teknologi nuklir sudah dimanfaatkan untuk bidang pangan, kesehatan dan obat-oabatan. Salah satunya adalah beras Si Denok sebagai salah satu beras unggulan dati hasil rerakaya genetika lewat teknologi nuklir “Nuklir bukan hanya PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir-red) saja. Beras Si Denok, hasilnya bagus. Ini bentuk pengembangan bibit beras dengan teknologi nuklir. Banyak juga di bidang lain seperti pengawetan makanan dan pengobatan,” kata Momon, demikian ia akrab di sapa.
Meskipun demikian, pemanfaatan teknologi nuklir di bidang pangan dan kesehatan tidak banyak menimbulkan pro kontra di masyarakat. Sebaliknya rencana pembangunan PLTN sampai saat ini masih belum bisa terealisasi. Menurut Momon, tidak mudah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, selain dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia yang handa serta anggaran yang tidak sedikit, Indonesia juga dihadapkan pada aturan regulasi yang ditetapkan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Kesiapan Indonesia untuk membangun pembangkit listrik dari tenaga buklir menurut Susilo Widodo, melampaui kemajuan yang cukup pesat. Namun sayangnya, tidak diikuti keseriusan pemerintah dalam mendorong percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. “Vietnam saja sudah ada program membangun 6 PLTN. Sudah mereka rencanakan, desain sudah ada prosedur sudah dipenuhi. Padahal secara kesiapan infrastruktur, kita lebih maju dari mereka,” kataya.
Menurut Susilo, kesiapan Indonesia dalam membangun reaktor nuklir saat ini sudah memasuki tahap kedua. Sedangkan untuk menuju tahap ketiga dan keempat pemerintah perlu melengkapi regulasi terkait jaminan mutu dan standarisasi.
Sementara pengajar teknologi nuklir UGM, Susetyo, mengatakan pengembangan teknologi nuklir di Indonesia kuncinya terletak pada edukasi. Menurutnya selama ini masyarakat belum diedukasi secara lebih baik terkait pengenalan teknologi nuklir. “Kita lihat di kurikulum di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, minim sekali dengan teknologi, berbeda jauh dengan negara maju yang sudah mengenalkan nuklir mulai dari anak SD,” terangnya.
Dia menambahkan, sosialisasi perngembangan dan pemanfaaatn teknologi nuklir tidak cukup hanya lewat media internet karena tidak semua masyarakat bisa menjangkau. Dia mengusulkan agar pemerintah lebih menekankan pada pengembangan kurikulum di sekolah. “Edukasi dengan masyarakat mulai dari bawah, pemahaman tentang nuklir jauh akan lebih baik. Selama ini kita hanya mengenal nuklir dari pelajaran sejarah, bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sehingga yang ada ketakutan yang muncul,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)