![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/08/28081414092137831673784451-575x510.jpg)
Kementerian Kehutanan mendorong masyarakat untuk menggunakan benih dan bibit unggul bersertifikat. Hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kehutanan, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas tanaman merupakan poin penting dalam pengembangan hutan tanaman. Karenanya pemerintah mendorong penggunaan benih unggul agar tanaman bisa dihasilkan dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat.
Ia mencontohkan dengan pemakaian benih unggul bersertifikat, maka dalam waktu lima tahun hasil pohon jati bisa mencapai 125 meter kubik per hektar. Sementara tanaman jati biasa baru siap panen setelah lima belas tahun dan hanya menghasilkan 40 meter kubik per hektarnya.
“Hari ini di Kaliurang juga akan lepas bibit unggul jati yang bisa menghasilkan kayu 25 meter kubik per hektar setiap tahun. Ini membuktikan dengan sentuhan teknologi silvikultur bisa meningkatkan produktivitas tanaman,” urainya usai membuka Seminar Nasional Sivikultur ke-2, Kongres Masyarakat Silvikultur Indonesia dan Musyawarah Forum Pembenihan Tanaman Hutan Nasional, Kamis (28/8) di University Club (UC) UGM.
San Afri mengatakan bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang belum menggunakan bibit unggul bersertifikat dalam mengembangkan hutan tanaman. Untuk itu pemerintah bersama dengan perguruan tinggi , dan asosiasi masyarakat silvikultur akan melakukan pendampingan dalam upaya transfer teknologi budidaya tanaman dan penggunaan bibit unggul tersebut.
“Kita dorong kebijakan ini dilaksanakan dengan pendampingan kepada rakyat. Kan tidak mungkin rakyat dibiarkan tanpa didampingi,” katanya.
Pada tahun 2013 lalu Kementrian Kehutanan telah menerbitkan surat keputusan tentang penetapan jenis tanaman yang benihnya wajib diambil dari sumber benih bersertifikat. Terdapat lima jenis tanaman yang wajib diambil dari sumber benih bersertifikat yakni jati, sengon, jabon, mahoni, dan gmelina.
Sementara Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Sc mengatakan sebagian besar hutan di Indonesia kurang produktif. Bahkan mengalami penurunan signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 1990 hutan Indonesia mampu menghasilkan 28 juta meter kubik kayu. Namun pada tahun 2011 merosot tajam menjadi 4,55 juta meter kubik.
“Peningkatan produktivitas adalah keniscayaan. Bisa dilakukan dengan aplikasi teknologi silvikultur yang sudah dikembangkan seperti penggunaan bibit unggul,” katanya.
Satyawan menuturkan selain Perhutani, penggunaan bibit unggul telah diterapkan pada hutan rakyat serta sejumlah industri kehutanan. Kendati begitu, kedepan penggunaan bibit unggul masih perlu diperluas.
“Harapannya bisa diaplikasikan di seluruh hutan dan industri kehutanan di Indonesia. Sehingga konsep yang dikejar hutan produksi dengan area sempit, tetapi bisa berproduksi tinggi sehingga daerah lainnya bisa dipakai sebagai hutan lindung dan hutan konservasi,” urainya. (Humas UGM/Ika)