YOGYAKARTA – Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Prof. Dr. Ir. Danang Parikesit, M.Sc., mengatakan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dipastikan kesulitan untuk menjalankan janji kampanye untuk membangun infrastruktur, transportasi pubik, dan perumahan rakyat dalam dua tahun ke depan apabila tidak mengurangi beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya belanja modal untuk pembangunan infrastruktur hanya 7 persen dari total APBN. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan solutif untuk mengatasi hal tersebut. “Pak Jokowi kemungkinan tidak bisa merealisasikan janji kampanyenya karena terbebani dengan subsidi BBM. Sehingga dibutuhkan mencari ide liar dan ide besar karena Jokowi berharap setiap 3 bulan ada target yang bisa dicapai,” kata Guru Besar Jurusan Teknil Sipil Universitas Gadjah Mada ini dalam “Diskusi Jalan Kemandirian Bangsa, Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkerpibadian” di Pusat Studi Trasnportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Senin (1/9).
Selain terbebani dengan besarnya alokasi subsidi BBM yang ditengari selama ini tidak tepat sasaran, pemerintah Jokowi-JK nantinya menurut Danang juga dihadapkan pada minimnya anggaran pembiayaan pemeliharaan infrastruktur. Menurut Danang, biaya pemeliharaan infrastruktur lebih besar ketimbang biaya investasi untuk membangun infrastruktur. “Biaya pemeliharaan itu sekitar 60 ersen, sementara investasi itu hanya 40 persennya saja,” katanya.
Menghadapi dilema tersebut, kata Danang, pemerintah yang baru mendatang diharuskan mencari terobosan untuk menutupi pembiayaan di tengah tuntutan pertumbuhan ekonomi yang sangat besar seperti yang diamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). “Selain memenuhi janji kampanye, Jokowi diharuskan menjalankan amanat RPJP untuk membangun 6.000 km jalan baru, 3.750 km rel kereta api abru, 20 pelabuhan udara baru, dan penambahan 45 persen tranportasi publik di perkotaan,” terangnya.
Di bidang infratruktur, menurut Danang, dua persoalan penting yang selama ini jadi kendala bagi pemerintah yakni investasi tidak tepat sasaran dan inefisiensi proyek. “Banyak terjadi inefisiensi proyek karena korupsi. Ke depan harus tepat sasaran dan efisiensi,” ujarnya.
Pengamat ekonomi UGM, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., mengatakan tantangan yang dihadapi kabinet baru mendatang adalah pertumbuhan ekonomi yang belum berada pada jalur yang benar karena ‘kue pembangunan’ hanya dinikmati oleh 40% golongan pendapatan menengah dan 20% golongan pendapatan teratas. Sementara 40% dari golongan masyarakat berpendapatan terendah yang seharusnya menikmati pembangunan justru mengalami penurunan hingga 16,88%.
Tidak hanya itu, tambah Mudrajat, biaya logistik nasional saat ini hanya 27% dari Produk Domestik Bruto dan belum memadai kualitas pelayanannya. Bahkan tingginya biaya logistik nasional menjadi kendala dalam pengembangan bisnis di Indonesia. Lebih jauh ia menjelaskan struktur PDB Indonesia hingga triwulan II tahun 2014 masih didominasi 58,7 % provinsi-provinsi di Pulau Jawa, diikuti sumatera 23,7%. Sementara Kawasan Timur Indoensia masih banyak mengandalkan sektor primer sekitar 17,6%. “Ada kecenderungan pendapatan per kapita yang tinggi terpusat pada daerah provinsi yang kaya sumber daya alam serta daerah yang padat penduduk,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)