![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/03091414097161411385193479.jpg)
Komodo atau Varanus komodoensis banyak dijumpai di Indonesia seperti di Pulau Komodo, Rinca, Gili Motang dan Gili Dasami di Nusa Tenggara. Sebagai salah satu predator terbesar yang hidup dan tersebar di alam yang terbatas komodo cukup rentan secara antropogenik. Untuk itu diperlukan program konservasi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk memantau keberlangsungan hidup satwa tersebut.
“Hal ini juga harus disertai dengan kesadaran masyarakat secara terintegrasi untuk menyelamatkan populasi komodo,” kata ahli komodo, Dr. Claudio Ciofi dari University of Florence Italia, saat mengisi kuliah umum dengan tema “The Vagaries of Island Living: Population Ecology and Genetics of Komodo Dragons” di Fakultas Biologi UGM, Selasa (2/9).
Claudio menjelaskan jika dilihat dari tren pertambahan populasi, pertumbuhan, hingga kelangsungan hidup maka populasi komodo masih banyak yang terpecah-pecah. Meskipun termasuk keluarga naga dan dapat tumbuh hingga sepanjang tiga meter dengan berat hampir 90 kilogram, spesies ini tetap rentan terhadap masalah modern yang merundung dunia binatang, mulai dari hilangnya habitat sampai perubahan iklim. Di sini Claudio menyinggung tentang spesies payung yang secara tidak langsung ikut melindungi banyak spesies lain.
“Spesies payung ini membutuhkan habitat luas sehingga bisa ikut melestarikan spesies lain dalam habitat sama meskipun kebutuhan habitatnya sempit,” katanya.
Di hadapan mahasiswa Claudio juga menjelaskan manfaat penerapan teknik genetika molekuler untuk mengetahui dinamika kolonisasi dan aliran gen komodo. Untuk mengetahui keragaman genetik intraspesifik komodo, kata Claudio, bisa menggunakan penanda DNA spesifik.
Menurut Claudio setelah hubungan genetik diketahui nantinya bisa ditindaklanjuti dengan membuat program lanjutan seperti pemilihan pasangan kawin terbaik, pertukaran dengan kebun binatang lain serta mengidentifikasi individu yang tepat untuk reintroduksi ke habitat aslinya.
“Teknik ini untuk memecahkan metodologi penelitian ekologi klasik yang belum mampu menjawab sejarah hidup spesies komodo,” pungkas Claudio. (Humas UGM/Satria)