![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/03091414097161411385193479.jpg)
Perdagangan dunia mengalami perkembangan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di satu sisi, peningkatan volume perdagangan berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Namun, di sisi lain hal itu meningkatkan risiko kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial.
Joachim Monkelbaan, peneliti pada divisi perdagangan, kebijakan, dan perencanaan United Nations Environment Programme (UNEP) mengatakan bahwa menjalankan perdagangan global berbasis ekonomi hijau menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Langkah ini tak hanya bisa meningkatkan perekonomian tetapi mampu menekan terjadinya kerusakan lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca dalam pembangunan.
“Dengan ekonomi hijau ini bisa meningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi manusia. Bahkan, secara siginifikan mampu mengurangi risiko lingkungan serta kelangkaan ekologis,”terangnya, dalam seminar bulanan di Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Rabu (3/9).
Joachim menyampaikan bahwa sistem ekonomi hijau dan perdagangan dapat memberi kontribusi yang saling menguntungkan. Perdagangan sebagai mesin apabila diatur dengan tepat dapat mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta transisi ekonomi hijau. Sementara ekonomi hijau membuka kesempatan baru untuk perdagangan regional dan global.
“Contohnya, pada pasar global dalam tekonologi rendah karbon dan efisiensi energi diproyeksikan hampir tiga kali lipat sebesar US$ 2,2 triliun di tahun 2020,” jelas Joachim.
Lebih lanjut dikatakan Joachim negara berkembang dengan sumber daya alam terbarukan yang melimpah berpeluang untuk meningkatkan pangsa pasar produk dan jasa yang ramah lingkungan. Data UNE’s GE-TOP (2013) mencatat terdapat enam sektor ekonomi yang memiliki potensi tumbuh dalam industri perdagangan berbasis ekonomi hijau. Di antaranya, dalam sektor pertanian, perikanan, manufaktur, kehutanan, pariwisata, dan energi terbarukan. Selain itu dari hasil analisis dirumuskan langkah-langkah untuk membangun kapsaitas nasional dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau yakni dengan melakukan pendidikanm reformasi kebijakan serta sertifikasi.
Dalam sektor energi, dituturkan Joachim melalui ekonomi hijau ini kedepan diharapkan bisa menyediakan akses universal untuk layanan energi moderen. Bahkan meningkatkan tingkat perbaikan global dalam efisiensi energi dan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi global menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini.
Penggunaan energi dunia saat ini masih didominasi minyak bumi (36%), gas alam (24%), Batu bara (29%), hidro (6%), nuklir (6%), dan energi terbarukan (1%). Namun dengan semakin menipisnya jumlah pasokan energi fosil UNEP menargetkan peningkatan penggunaan batu bara (43%), hidro (12%), dan nuklir (8%) pada tahun 2050. Selain itu juga penggunaan solar (6%) dan energi angin (12%). Sedangkan penggunaan minyak bumi dan gas alam dikurangi.
“Penggunaan minyak bumi dan gas alam masing-masing ditargetkan hanya 9 persen dari total bauran energi. Untuk mewujudkannya perlu kerjasama dan dukungan dari seluruh masyarakat dunia tentunya,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)