![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/02091414096269121956039303-612x510.jpg)
Menindaklanjuti amanat pasal 22D UUD RI tahun 1945 dan pasal 224 UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, saat ini DPD RI tengah aktif menjalankan fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan negara. Salah satu fungsi legislasi yaitu mengajukan usul inisiatif Revisi UU No 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Diakui UU Nomor 15 tahun 2006 telah memberikan independensi lebih baik kepada BPK. Hal ini terlihat dari pengangkatan anggota BPK yang tidak lagi dilakukan pemerintah, melainkan oleh parlemen yaitu Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dengan mendengarkan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). UU inipun dinilai telah memberikan landasan yang kuat untuk mmebentuk integritas dan profesionalisme BPK dengan mengatur mengenai kode etik dan standar pemeriksaan. Transparansi hasil pemeriksaan pun menjadi lebih baik dengan mewajibkan laporan hasil pemeriksaan yang sudah disampaikan ke parlemen untuk dipublikasikan kepada masyarakat.
“Meski begitu selama delapan tahun perjalanan, DPD RI menyadari perlunya dilakukan beberapa revisi undang-undang ini untuk meningkatkan indepedensi, integritas, profesionalisme dan transparansi hasil pemeriksaan BPK untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan tranparan pada parlemen, pemerintah dan masyarakat umum,” kata Ir. Sefti Ramsiati, M.M, Kepala Biro Persidangan II, Setjen DPD RI saat melakukan Studi Empirik RUU DPD RI bertema “Menuju BPK Yang Lebih Independen dan Profesional”, di ruang multimedia UGM, Kamis (4/9).
Pembahasan usul inisiatif RUU ini, menurut Sefti, telah dilakukan anggota DPD RI dengan melibatkan para pemangku kepentingan melalui penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah. Namun, metode ini dirasa masih kurang, dimana Tim Ahli RUU memandang perlu untuk melakukan diskusi secara akademis dengan stakeholders, terutama akademisi di perguruan tinggi dan lembaga kajian serta pemerintah daerah.
“Kegiatan ini tentu saja sebagai upaya dalam rangka penyempurnaan naskah akademik dan substansi terkait pasal RUU usul DPD RI tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2006 tentang BPK,” tuturnya.
Terdapat 10 masukan yang diharapkan DPD RI terkait RUU perubahan atas UU No 15 tahun 2006. Permasalahan persyaratan kompetensi anggota BPK, independensi calon anggota BPK, proses pemilihan, ruang lingkup tugas pemeriksaan BPK dan ruang lingkup kewenangan BPK. Selain itu diharapkan pula masukan terkait keterlibatan parlemen dalam penetapan standar pemeriksaan keuangan negara, kode etik BPK, penyampaian laporan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh akuntan publik, pemberhentian anggota BPK dan pemeriksaan sistem pengendali mutu BPK (Peer Review).
Menyoroti persyaratan kompetensi anggota BPK, Prof. Dr. Gudono, M.B.A menyatakan idealnya 50 persen anggota BPK mestinya berlatar belakang akuntansi. Sebab permasalahan aspek keahlian ini bisa berdampak luas hingga pada staff bawahan.
“Pernah dalam satu era, hanya sebagian saja pejabat eselon I BPK berlatar belakang akuntansi. Padahal sampai saat ini semua staff menyandang Jabatan Fungsional Pemeriksa (JFP), walaupun mereka bukan ‘pemeriksa’,” katanya.
Pandangan yang sama disampaikan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Dikatakannya berbicara audit akuntan maka yang diperlukan adalah mereka yang memiliki basic akuntansi. Karena itu, mereka yang tidak paham pembukuan dipastikan tidak mampu membaca laporan akuntansi.
“Didalam ilmu hukum tentang teori pembukuan itu diajarkan di hukum bisnis. Tentu saja menjadi pertanyaan besar kalau seorang anggota BPK kemudian berlatar belakang farmasi. Karena orang hukum yang tidak berlatar hukum bisnis atau hukum tata keuangan negara saja tentu tidak akan paham,” katanya.
Dalam kegiatan yang digelar UGM bersama Komite DPD RI tampak hadir Teuku Radja Sjahnan (Tim Ahli DPD) dan Machfud Solikin (Tim Ahli RUU) sebagai moderator. (Humas UGM/ Agung)