![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/05091414099042531767635635-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Pengamat ekonomi UGM sekaligus staf khusus Wakil Presiden RI, Dr. Denni Puspa Purbasari menilai subsidi bahan bakar minyak dan listrik yang mencapai lebih dari Rp 300 triliun, sebaiknya dialihkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur salah satunya pembangunan jalur rel kereta api ganda di beberapa pulau besar di Indonesia. Selain mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja, pembangunan rel kereta api juga diyakini mampu mengurangi beban biaya logistik yang selama ini memberatkan dunia usaha. “Rata-rata sekitar 24 persen ongkos biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh industri untuk mengembangkan bisnisnya,” kata Denni saat menjadi pembicara dalam seminar “Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia” yang berlangsung di FEB UGM, Jumat (5/9). Seminar dan diskusi yang dipandu Dosen Ekoonomi UGM Dr. Elan Satriawan, menghadirkan Deputi Bidang Kemisikinan, Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil dan Menengah, Bappenas, Rahma Iryanti dan peneliti Bank Dunia Jakarta, Dr Vivi Alatas.
Denni mengatakan subsidi BBM bisa dihemat asalkan dialihkan ke infrastruktur. Diakuinya, tidak semua proyek pembangunan infratruktur membutuhkan biaya besar, dia mencontohkan pembangunan jalur rel ganda di bagian utara Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. Menurutnya pembangunan rel ganda ini bisa terealisasi dalam waktu 2 tahun padahal sudah diinisiasi pemerintah sebelumnya sejak tahun 1980-an. “Dana APBN untuk pembangunan double track ini hanya membutukan Rp 10,5 triliun. Bandingkan angka subsidi BBM dan listrik yang mencapai Rp 300 triliun,” imbuhnya.
Meski proyek yang dipimpin Wapres Boediono ini melibatkan 10 lembaga seperti beberapa kementerian, BPN, dan 3 Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proyek yang dimulai pada tahun 2011, namun dapat terealisasi di tahun 2014. “Itu pun belum sepenuhnya tuntas sehubungan kendala pembebasan lahan di kota Surabaya sehingga kereta api belum terhubung dengan stasiun Turi Surabaya,” katanya.
Berkaca dari pengalaman membangun jalur kereta api ganda ini, kata Denni, tidak mudah bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan rel sepanjang 727 kilometer tersebut. Salah satu kendalanya pada pembebasan lahan meski lahan yang digunakan sudah dinyatakan sebagai tanah negara. “Masalah terbesar ada pada pembebasan lahan dan kesiapan tim di daerah serta kegamangan dalam mengambil keputusan,” ujarnya.
Meski demikian, kata Denni, koordinasi yang intensif yang dilakukan oleh Wapres dengan 10 lembaga tersebut akhirnya dalam tempo dua tahun proyek ini selesai juga dilaksanakan. Selama proses berlangsung dia menyebutkan sedikitnya 2 juta tenaga kerja yang dilibatkan. Keberadaan rel kereta api tersebut tidak hanya mendorong tumbuhnya sektor ekonomi namun juga mempersingkat waktu tempuh Jakarta dan Surabaya hanya 8-10 jam.
Rahma Iryanti dari Bappenas, menuturkan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan lewat kredit Usaha Rakyat belum dinikmati oleh kelaurga miskin. “Perlu dievaluasi karena belum menyentuh keluarga miskin, perlu dipikirkan apakah perlu melibatkan lembaga keuangan lainnya,” katanya. Menurutnya, kebijakan sektoral pro poor tetap perlu dipertahankan untuk dapat mempercepat penurunan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan.
Sedangkan Dr Vivi Alatas, mengatakan upaya pengentasan kemiskinan semakin melambat yang menyebabkan ketimpangan dan kesejangan makin meningkat. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata meski jumlah penduduk kelas menengah terus kian meningkat. “Dari kelas menengah ini, ada 5 juta orang yang tingkat konsumsinya 2 juta per bulan dan ada 800 ribu orang yang belanja diatas 4 juta per bulan,” katanya.
Dia mengusulkan kebijakan fiskal yang diputuskan pemerintah sebaiknya bisa dinikmati keluarga miskin. Salah satunya dengan menerapkan pajak progresif . “Rasio pajak tidak lagi hanya 12 persen dari GDP tapi lebih ditingkatkan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)