Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM mendesak presiden terpilih periode 2014-2019 untuk menyusun kabinet pemerintahan yang bebas korupsi. Langkah awal dengan memilih bakal calon menteri yang tidak tersangkut kasus pidana untuk meminimalisir lahirnya menteri atau kementrian yang bermasalah di masa mendatang
“Saat ini merupakan momentum untuk pembentukan kabinet anti korupsi. Kabinet ini jangan mengakomodasi calon yang dulunya pernah menjadi terpidana,” tegas Direktur Eksekutif Pukat korupsi UGM, Hasrul Halili, kepada wartawan Selasa (9/9).
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 22 ayat 2 dan pasal 23 UUD 1945 bakal calon menteri adalah individu yang tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dengan ketentuan undang-undang tersebut, maka calon menteri harus seseorang yang tidak memiliki catatan pidana.
“Para kandidat yang memiliki catatan korupsi atau diduga korupsi, termasuk pelanggaran HAM, perdagangan orang, kasus narkoba atau tindak pidana lainnya secara otomatis tidak bisa menduduki kursi kementrian atau lembaga,” jelasnya.
Hasrul menyebutkan pembentukan kabinet anti korupsi bisa dilakukan dengan meminimalisir praktik transaksional antara partai dengan presiden yakni dengan tidak memilih menteri dari kalangan partai politik. Pasalnya dari catatan terhadap pemerintahan SBY selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014 menunjukkan setidaknya terdapat tiga menteri aktif yang ditetapkan sebagai transaksi korupsi merupakan pejabat struktural di partai politik. Sebut saja Andi Malarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga yang terjerat kasus korupsi Hambalang. Lalu Suryadhrama Ali, Menteri Agama yang tersangkut kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Belum lama, Jero Wacik, Menteri ESDM yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pemerasan dan penyelenggaraan kegiatan fiktif di internal Kementrian ESDM.
“Dalam UU No 39 Tahun 2008 memang tidak melarang presiden terpilih mengambil kandidat menteri dari unsur parpol. Namun sedapat mungkin mengeliminasi akses parpol dalam kabinet mendatang agar tidak terjebak dalam politik transaksi,” tandasnya.
Dalam menyaring kandidat menteri, disampaikan Hasrul presiden sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan integritas bakal calon menteri saja. Presiden juga harus memperhatikan penerimaan publik. Apabila calon menteri, meskipun bukan dari parpol, tetapi pernah terlibat kasus yang diancam hukuman lima tahun atau tindakan asusila harus dikeluarkan sebagai bakal calon menteri.
“Presiden terpilih juga harus memperhatikan kapabilitas kandidat menteri, yang tidak menguasai bidang kementrian harusnya tidak bisa menduduki kursi bakal calon menteri. Hal ini untuk mengurangi tawaran parpol yang ingin menempatkan elitenya dalam kementrian tertentu,”paparnya.
Pernyataan senada disampaikan Hifdzil Alim, peneliti pukat korupsi lainnya. Menurutnya dalam pemilihan calon menteri nantinya, presiden terpilih sebaiknya tidak banyak mengambil kandidat dari unsur partai politik, namun dari jalur profesional. Mengingat dalam UU No 2 Tahun 2011 yang masih memberikan ruang bagi partai politik untuk mengumpulkan dana bagi kelangsungan partai dari anggotanya. Dalam ketentuan pasal 34 ayat 1 memberikan jalur hukum bagai partai politik untuk mengambil dana dari masing-masing anggota dengan cara membayar iuran wajib.
“Asumsinya, ketika ada menteri dari partai politik, lalu partai butuh dana, maka partai bisa menjadikan menteri sebagai ATM,” jelasnya.
Apabila dana yang dibutuhkan partai berjumlah besar, dikatakan Hifdzil terdapat kemungkinan menteri yang bersangkutan akan mengambil dana dengan menaikan nilai anggaran kegiatan. Bahkan membuat kegiatan fiktif untuk memperoleh dana untuk partainya.
“Dengan begitu korupsi akan sulit dicegah dalam kementrian yang menterinya dari parpol,” terangnya.
Karenanya ditegaskan kembali oleh Hifdzil dalam memilih calon menteri nantinya presiden terpilih sebaiknya mengambil dari kalangan profesional. Apabila terpaksa memilih dari unsur partai politik adalah pilihan terakhir.
“Bisa menciderai undang-undang kalau kami melarang presiden terpilih nantinya memilih dari unsur parpol. Namun alangkah baiknya jika memilih dari jalur profesional karena akan menjauhkan presiden dari kemungkinan lahirnya menteri atau kementrian bermasalah di kemudian hari,” katanya. (Humas UGM/Ika)