Penggunaan energi untuk pembangkit listrik saat ini masih didominasi oleh batu bara diikuti dengan gas dan minyak bumi. Penggunaan energi fosil tersebut berdampak pada sifat ketergantungan Indonesia kepada perkembangan harga minyak dunia. Selain itu, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan berkurangnya produksi minyak dalam negeri membuat biaya pembangkit listrik semakin mahal.
Persoalan lain seperti penggunaan gas yang belum maksimal disebabkan pasar untuk gas yang masih kurang diperhatikan, pembangunan energi terbarukan yang belum maksimal dan dampak besar penggunaan batubara yang dapat merusak lingkungan membuat tantangan kelistrikan Indonesia semakin bertambah. Harga tarif dasar listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan peningkatan subsidi energi pada APBN Indonesia dari 53,72 triliun pada tahun 2009 menjadi 71,4 triliun pada tahun 2014.
Hal ini mengemuka pada “Diskusi Publik: Kondisi dan Tantangan Kelistrikan Indonesia di Masa Depan”, di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (9/9). Diskusi yang digagas oleh BEM KM UGM ini menghadirkan pembicara General Manager PT. PLN Distribusi Jateng-DIY Djoko Rahardjo Abumanan serta Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.
Menurut Fabby listrik merupakan kebutuhan penting dan tidak bisa ditinggalkan. Listrik merupakan salah satu prasyarat bagaimana sebuah bangsa membangun perekonomian. Sayangnya, sampai saat ini belum semua daerah di Indonesia mendapatkan akses listrik.
“Kurang lebih ada dua belas juta rumah tangga dan lima puluh lima juta orang di negara kita ini yang belum mendapatkan akses listrik,” kata Fabby.
Selain persoalan di atas Fabby juga menyinggung rata-rata konsumsi listrik masyarakat Indonesia yang rendah di kawasan Asia Tenggara. Hal ini salah satunya disebabkan kurangnya pasokan listrik. Tahun 2012 menurut Fabby pasokan listrik Indonesia mengalami kekurangan antara 5.2–9.7 GW khususnya jika dilihat dari tingkat pemakaian listrik dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Solusinya antara lain dengan menambah jumlah pasokan serta pembangunan infrastruktur yang diharapkan bisa berdampak ke sektor lain, seperti kesehatan dan pendidikan,” tambah Fabby.
Fabby berharap dengan masih terjadinya krisis listrik ini tidak berdampak lebih jauh. Harus ada sinergi antara pemerintah dan PLN untuk mengatasi persoalan itu, seperti penambahan anggaran hingga membantu dalam pembebasan lahan.
Sementara itu General Manager PT. PLN Distribusi Jateng-DIY Djoko Rahardjo Abumanan mengakui perlunya tambahan anggaran. Jika modal anggaran tidak naik maka PLN menurut Abumanan tidak cukup untuk berinvestasi. Kondisi ini menjadi dilema karena satu sisi PLN harus siap dalam menyediakan fasilitas (infrastruktur) listrik namun terkendala anggaran.
“Strateginya bisa dengan menaikkan tarif dan subsidi, penguatan modal negara ataupun restrukturisasi pinjaman,” tegasnya (Humas UGM/Satria)