YOGYAKARTA – Arsip merupakan memori kolektif sebuah bangsa. Dari arsip, kita dapat menggambarkan sejarah, serta sebagai media penghubung para leluhur dengan generasi sekarang dan akan datang. Tidak heran, keberadaan lembaga, beserta pengelola dan penjaga arsip menjadi bagian penting dalam kebijakan pembangunan. Di Indonesia, terkecuali Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), keberadaan lembaga arsip belumlah lama terbentuk apalagi lembaga arsip di lingkungan perguruan tinggi.
Arsip Universitas Gadjah Mada merupakan lembaga kearsipan perguruan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia. Berdiri sejak tahun 2004, atau lima tahun sebelum lahirnya UU No 43 tahun 2009 tentang Kearsipan. Meski baru 10 tahun berdiri, Arsip UGM sudah menyimpan 57.784 berkas arsip tekstual, 20.678 arsip foto, 1.495 kaset rekaman suara dan 2000an arsip video. Belum lagi dalam bentuk khusus seperti arsip kartografi dan arsip kearsitekturan serta arsip gambar teknik. Arsip-arsip tersebut dari tahun 1946 hingga 2012.
Kepala Arsip UGM, Drs. Machmoed Effendhie, M.Hum., mengatakan mengatakan tidak mudah bagi UGM awalnya untuk mendirikan lembaga arsip. Apalagi pada saat itu belum ada rujukan untuk mendirikan lembaga arsip, sehingga selama 4 tahun itu, dianggapnya sebagai masa pencarian identitas Arsip UGM. “Ketika itu belum ada prasyarat mendirikan Arsip. Kotak mie instan kita jadikan tempat simpan arsip, tapi apa yang sudah capai kini adalah hasil perjuangan dari masa lalu,” kata Machmoed dalam peringatan 10 tahun berdirinya kantor Arsip UGM yang berlangsung di ruang Seminar Perpustakan UGM, Kamis (11/9).
Empat tahun setelah berdiri, kata Machmoed, Arsip UGM menata pengembangan kelembagaan lewat perbaikan sistem, manajerial, pelayanan, hingga pembentukan jaringan untuk memperkuat kelembagaan Arsip Universitas. Tidak heran, Arsip UGM saat ini sudah menjadi anggota International Council Archives (ICA) pada seksi Institutional Research University Archives. “Ada dua lembaga arsip di Indonesia yang menjadi anggota, selain UGM, ada UI,” katanya.
Meski menyebutkan perkembangan arsip di lingkungan UGM mengalami kemajuan cukup pesat, namun dosen sejarah UGM ini mengkritisi budaya masyarakat yang masih enggan dan kurang peduli menyimpan dokumen arsip pribadi serta belum siapnya lembaga arsip dalam menyimpan semua dokumen dari masyarakat. Berbeda dengan masyarakat Belanda yang gemar menyimpan struk belanja sebanyak-banyaknya untuk diserahkan ke kantor arsip. Bahkan ada petugas atau demonstran yang langsung mengumpulkan berbagai poster setiap kali melakukan demonstrasi. “Dengan struk belanja sebanyak itu, pemerintah bisa menghitung kemampuan ekonomi setiap keluarga. Dengan poster tiap kali demonstrasi, juga diketahui tuntutan apa saja yang disampaikan ke pemerintah setiap tahunnya,” ungkapnya.
Sekretaris Eksekutif UGM, Drs. Gugup Kismono, MBA, Ph.D., mengatakan lembaga arsip UGM tidak cukup hanya berpuas diri dari capaian prestasi yang didapatkannya selama ini. Menurutnya, tantangan yang dihadapi arsip UGM ke depan tidak mudah dengan tuntutan dan kebutuhan pelayanan yang makin berkualitas . “Arsip bukan sesuatu yang remeh temeh, pada saat tertentu ia akan jadi sangat strategik. Sehingga menjadi arsiparis harus punya keahlian spesifik, didukung semangat kerja dan kekompakan untuk pengembangan lembaga ke depan,” katanya
Arsiparis dari Lembaga Arsip DIY, Burhanudin, mengatakan lembaga arsip di Indonesia umumnya belum ditempatkan di posisi sebagaimana mestinya. Namun begitu dia mengapresiasi arsiparis ugm yang telah banyak melahirkan ide-ide cemerlang dalam mengelola dokumen arsip seperti menggunakan tabung yang terbuat dari pipa paralon sebagai tempat menyimpan dokumen arsip.
Yang menarik kata Burhanudin, dari data arsip yang dikelola Arsip UGM ini juga bisa diketahui berbagai peran civitas akademika UGM di masa lalu seperti salah satu contohnya peran Prof. Notonagoro dalam pengembangan Pancasila atau peran UGM dalam pelestarian pesut Mahakam. (Humas UGM/Gusti Grehenson)