![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/19091414111120381811781385-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada akan menggelar Kongres Maritim Indonesia pada 23-24 September di Balai Senat, Kampus UGM. Kongres tersebut dalam rangka memperkokoh jati diri Indonesia sebagai bangsa berkarakter maritim, membangun kesadaran bersama bahwa Indonesia adalah benua Maritim berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika, dan membangun komitmen menjaga kedaulatan negara seutuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Ketua pelaksana Kongres Maritim, Dr. Yosi Bayu Murti mengatakan kongres yang dilaksanakan selama dua hari ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla tekait roadmap kebijakan pembangunan kemaritiman. “Kita ingin ada keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan maritim, laut bukan lagi sebagai pemisah tapi sebagai penghubung untuk meningkatkan kesejahteran ekonomi rakyat di pulau terluar,” kata Yosi ditemui di kantor Pusat Studi Kelautan UGM ini, Jumat (19/9).
Kepala Pusat Studi Kelautan UGM ini menambahkan, kongres pertama di bidang kemaritiman yang digagas oleh UGM ini akan melibatkan sedikitnya 300 pakar dari berbagai perguruan tinggi, praktisi dan tokoh masyarakat. Di akhir kegiatan kongres ini, UGM akan menyampaikan deklarasi kebangkitan kembali Indonesia sebagai negara maritim serta sekaligus membentuk Forum Masyarakat Maritim Indonesia.
Kongres Maritim kali ini, rencananya akan mendisikusikan empat persoalan mendasar di bidang kemaritiman yang dihadapi bangsa Indonesia, yakni, pertama, persoalan hukum, hak dan kedaulatan laut Indonesia. Kedua, konektivitas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi maritim. Ketiga, kebijakan ekonomi berbasis maritim dan keempat, sosial budaya dan peradaban maritim.
Dihubungi secara terpisah, pengamat perbatasan dan kemaritiman UGM, Dr. I Made Andi Arsana, ST., M.E., menuturkan persoalan perbatasan maritim RI dengan 10 negara tetangga belum sepenuhnya tuntas. Dari 10 negara tersebut, seperti India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste, menurut Andi, ada dua negara tetangga yang belum sama sekali dibahas perundingan batas negaranya dengan Indonesia. “Dua negara itu adalah Palau dan Timor Leste,” kata dosen teknik Geodesi UGM ini.
Meski perundingan batas negara dengan 8 negara tetangga lainnya sudah dilakukan namun ada beberapa daerah batas yang belum mencapai kesepakatan. Dia mencontohkan, lokasi batas RI dengan Malaysia di daerah Selat Malaka, Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi adalah batas wilayah sampai saat ini belum tuntas.
Menurutnya, belum dituntaskannya persoalan perbatasan dengan 10 negara tetangga ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan antar negara karena masing-masing mengklaim bahwa garis batas mereka masing-masing yang dianggap benar. Akibatnya, kelompok masyarakat yang paling dirugikan adalah nelayan. “Pelanggaran batas yang dilakukan oleh nelayan sebenarnya belum tentu melanggar garis batas kesepakatan, bisa jadi hanya melanggar garis batas yang merupakan keinginan negara masing-masing,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)