![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/23091414114564042014524307-767x510.jpg)
Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM mendesak DPR dan Presiden untuk menunda pengesahan RUU Pilkada. Pasalnya hingga saat ini kondisi masyarakat Indonesia masih dalam situasi yang tidak kondusif usai menjalani pesta demokrasi pemilihan presiden. Dengan penetapan RUU pilkada yang dilakukan tergesa-gesa justru dikhawatirkan dapat menimbulkan perpecahan bangsa.
“Jangan tergesa-gesa hanya untuk kepentingan kelompok tertentu dan kepentingan jangka pendek, tetapi harus dilakukan berdasar pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta berorientasi pada produk legislasi yang bermartabat,” jelas Kepala PPS UGM, Prof. Sudjito, saat jumpa pers dengan wartawan, Selasa (23/9).
Punandaan pengesahan RUU Pilkada disampaikan Sudjito akan mencegah terjadinya keretakan dan perpecahan bangsa. Karenanya PSP merekomendasikan kepada DPR dan Presiden menunda pengesaan RUU Pilkada hingga suasana kebatinan berbangsa dan bernegara kembali dalam susasana kondusif dan harmonis dengan penuh keinsyafan mendasarkan diri pada pancasila.
“Rekomendasi ini sudah kami sampaikan secara langsung ke DPR, Senin (22/9) kemarin diterima oleh Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso. Semoga benar-benar dipertimbangkan,” katanya
Terkait polemik apakah pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan secara langsung atau tidak langsung oleh DPR, Sudjito menegaskan bahwa tidak mempermasalahkan apakah pilkada akan dilakukan langsung atau tidak langsung. Utamanya, sistem pemilihan dilakukan berkesesuaian dengan sila ke-4 Pancasila.
“Model pemilu dan pilkada baik langsung maupun tidak langsung secara yuridis filosofis, yuridis normatif, dan yuridis empirik adalah benar selagi berbasis Pancasila terutama sila ke-4,” ujarnya.
Sudjito menjelaskan bahwa memang perlu disusun undang-undang baru yang mengatur pilkada untuk menggantikan UU Pilkada yang dinilai sudah tidak efektif lagi. Menurutnya undang-undang yang ada saat ini jika tetap dipaksa untuk dijalankan hingga beberapa tahun mendatang hanya akan memicu perpecahan bangsa.
“Penyelenggaran pilkada tidak semata-mata pada undang-undang maupun kekuasaan legislatif, tetapi lebih pada karakter pancasila apakah ada pada setiap penyelenggara negara. Kalau setiap tidak punya karakter ini maka tidak bisa efektif,” urainya.
Pakar budaya dan tokoh agama, KH. Jasir ASP menuturkan hal senada bahwa keberhasilan pilkada tidak hanya ditentukan oleh UU Pilkada dan institusi pemerintahan yang berwenang. Namun tergantung pada pendidikan politik yang akan mendorong peningkatan kualitas calon pemilih dan calon pemimpin untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurutnya, model pemilu maupun pilkada dalam pengaturan dan penyelenggaraannya wajib memperhatikan konsep, kontek, dan operasionalisasinya berdasar pada situasi kebatinan kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu juga berdasar pada semangat UUD 1945 dengan mengakomodir nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian membuka peluang penyelenggaran pilkada yang berbeda-beda di setiap daerah berdasar kearifan lokal masing-masing daerah. (Humas UGM/Ika)