![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/240914141153825391133656-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Lebih dari 140 pelabuhan internasional yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia sejatinya merupakan pelabuhan laut yang dibangun dari hasil peninggalan kerajaan nusantara dan pemerintah kolonial Hindia Belanda di abad 18 dan 19. Tidak banyak pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah. Kendati demikian, minimnya aktivitas bongkar muat kapal menyebabkan biaya logistik semakin tinggi hingga mencapai 30 persen dari harga bahan baku. “Soalnya hanya 10 persen efisiensi keluar masuk kontainer membawa barang dari pelabuhan,” kata Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Prof. Dr. Ir. Danang Parikesit, M,.Sc., dalam panel ahli yang mendiskusikan kebijakan ekonomi berbasis maritim pada Kongres Maritim Indonesia di kampus UGM, Rabu (24/9).
Selain Danang Parikesit, hadir sebagai narasumber, Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konsevasi Energi, Kementerian ESDM Agung Prasetyo ST., M.T.; Direktur Industri Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Drs. Agus Priyono, MM.; dan Anggota Dewan Kelautan Indonesia Dr. Ir. Son Damar, M.Sc.
Danang mengatakan transportasi laut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menekan angka inflasi karena disparitas harga antarwilayah makin rendah. Namun, tingginya biaya logistik ini menyebabkan harga jeruk pontianak lebih mahal daripada jeruk dari tiongkok. Bahkan untuk biaya bongkar muat dan kirim kargo ke Papua jauh lebih mahal ketimbang ke Luxemburg. “Soalnya setiap kapal pulang dari kawasan timur tidak banyak muatan yang dibawa, sehingga biaya dibebankan pada kargo yang diberangkatkan sebelumnya dari Jawa,” kata Guru Besar Teknik Sipil UGM ini mencontohkan.
Selain itu, kata Danang, biaya transportasi juga bisa menambah 20-25 persen harga akhir dari produk pertanian. Tapi kenyataannya kurang dari 2 persen produk pertanian yang bisa diangkut oleh kapal. Mahalnya biaya logistik ini menurut Danang menjadikan trasportasi maritim Indonesia tidak masuk dalam daftar peta perdagangan maritim dunia. “Yang ada hanya Singapura dan Malaysia,” katanya.
Danang pun mendukung rencana Joko Widodo untuk membangunan tol laut dalam rangka mendorong pergerakan transportasi laut dan pelayaran. Ia pun mengusulkan, kawasan timur Indonesia dijadikan pintu masuk untuk kapal yang membawa barang impor dari Eropa, Asia dan Australia. Oleh karena itu, pelabuhan seperti di Sorong, Papua, dan Bitung, Sulawesi Utara, menurut Danang bisa dijadikan pintu masuk bagi 14 ribu kapal yang beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, lalu lintas tranposrtasi laut di kawasan timut akan ramai, mengurangi biaya transportasi kapal yang selama ini pelayarannya tidak terjadwal, serta mendorong migrasi transportasi darat ke laut. “Target kita ambisius, meruntuhkan dominasi Malaysia dan Singapura,“ ujarnya.
Anggota Dewan Keluatan Indonesia, Dr. Ir. Son Damar, M.Sc., menuturkan 40 persen perdagangan dunia berpotensi melewati perairan Indonesia. Empat dari 10 lokasi strategis lalu lintas perdagangan dunia berada di Indonesia, yakni Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makassar.
Untuk mendorong kebijakan pembangunan negara maritim, Kata Damar, Pemerintah perlu mendorong aktivitas bongkar muat barang di pelabuhan dan menambah kepemilikan kapal oleh masyarakat lokal. “Jumlah bongkar muat kapal kita sudah empat kali Singapura,” katanya.
Direktur industri pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Drs. Agus Priyono, MM., mengatakan destinasi wisata bahari di Indonesia belum digarap secara optimal, padahal setiap tahunnya ada 5000 kapal yachts singgah ke Indonesia. “Sudah ditetapkan ada 18 pelabuhan yang dijadikan sebagai pintu masuk,” paparnya.
Dari 16 kawasan wisata destinasi, kata Agus, 7 diantaranya adalah kawasan wisata bahari, seperti wisata Kepulauan Seribu, wisata Menjangan, Pantai Kuta, Pulau Komodo, Bunaken, Wakatobi, dan Raja Ampat. Namun, mahalnya biaya tranposrtasi menuju loaksi destinasi wisata tersebut, diakui Agus, sering dikeluhkan oleh wisatawan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)