YOGYAKARTA – Laut Indonesia menyimpan 70% dari potensi minyak dan gas bumi karena 40 dari 60 cekungan minyak milik Indonesia berada di laut. Namun hanya sekitar 10% dari potensi tersebut yang saat ini sudah dimanfaatkan. Sedangkan potensi sumber daya mineral dasar laut sampai saat ini belum teridentifikasi dengan baik, mengingat belum tersedianya teknologi yang tepat untuk mengidentifikasinya. Sebab itu, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ke depan membutuhkan strategi kebijakan maritim yang komperehensif sebagai acuan bagi aturan kegiatan pembangunan kelautan dan kemaritiman. Salah satunya, memperkuat keamanan laut, daya saing SDM dalam penguasaan teknologi kelautan dan memperkuat budaya maritim.
Demikian beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari Kongres Maritim Indonesia yang dilaksanakan selama dua hari, 23–24 September di Balai Senat UGM. “Hasil kongres meminta Presiden terpilih untuk peduli dan sunguh-sungguh membangun arah kebijakan kemaritiman. Diperlukan pembentukan dan sinkronisasi peraturan dan perundang-undangan untuk mengatur isu kelautan dan kemaritiman secara komprehensif dan tidak tumpang tindih,” kata Prof.Dr. Marsudi Triatmojo, SH., LLM. saat membacakan hasil kongres kemarin sore.
Seperti diketahui, kinerja pembangunan kelautan dinilai masih memberikan kontribusi minim bagi negara, yakni baru mencapai 20,6% dari PDB nasional, yang terdiri atas 4,5% PDB dari sektor perikanan dan sisanya berasal dari sektor minyak dan pertambangan. Padahal bahan bakar fosil tersebut suatu saat akan habis seiring dengan semakin berkurangnya cadangan sumberdaya mineral tersebut. Diperlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan SDM, modernisasi teknologi dan permodalan dalam mengelola sumber daya kelautan agar bisa memberi manfaat ekonomi bagi masyrakat. “Pemerintah perlu memperbaiki rantai pasok sistem logistik yang berdaya saing, membangun konektivitas pusat-pusat pertumbuham ekonomi maritim berdasarkan eco-marine-concept,” katanya.
Yang tidak kalah penting, menurut Marsudi, diperlunya pengembangan pelabuhan transportasi laut, mendorong kegiatan industri maritim serta memanfaatkan potensi sumber energi baru terbarukan dari laut, seperti arus laut, energi pasang surut dan biofuel. “Keterlibatan peran swasta dan masyarakat sangat penting, pemerintah tidak hanya bergantung pada APBN,” katanya.
Sehubungan dengan persoalan tapal batas, kata Marsudi, peserta kongres juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan percepatan wilayah batas maritim agar bisa memberi manfaat bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan. Sementara cost guard harus dikembalikan pada institusi yang memiliki kemampuan dan fungsi yang semestinya agar bisa memperkuat penegakan hukum. Meski begitu, para penjaga keamanan laut dan pantai ini juga perlu dilengkapi teknologi teknik sistem surveilance dan sistem deteksi dini.
Adapun bidang sosial budaya maritim, peserta kongres juga merekomendasikan agar pemerintah perlu mengembangkan kurikulum kemaritiman dari sejak pendidikan SD hingga SMA agar mampu menumbuhkan jiwa wirausaha kelautan serta kebijakan menggalakkan masyarakat mengkonsumsi ikan laut. (Humas UGM/Gusti Grehenson)