YOGYAKARTA – Peneliti Universitas Gadjah Mada terus mengembangkan metode Wolbachia untuk mengurangi penularan virus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Seperti diketahui, peneliti UGM menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang sudah mengandung bakteri Wolbachia untuk menghambat perkembangan replikasi virus Dengue pada nyamuk tersebut. Metode ini tengah diteliti dengan melepaskan ribuan nyamuk ber-Wolbachia di dua padukuhan, Kronggahan dan Nogotirto, Sleman. Masing-masing setiap rumah disebar hingga 8-10 ekor nyamuk.
Selama 9 bulan pasca pelepasan awal tahun 2014 lalu, di dua wilayah penelitian tersebut diketahui ada peningkatan populasi nyamuk ber-Wolbachia hingga 60-80 persen. Peneliti mengklaim Wolbachia terus menyebar dalam populasi nyamuk stempat. “Pelepasan nyamuk setiap pekan ini akan kita lanjutkan hingga nantinya 100 persen nyamuk di sana memiliki Wolbachia,” kata peneliti Eliminate Dengeu Project (EDP) UGM, dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D., kepada wartawan, Kamis (25/9) di kantor EDP, Sekip N-14, Kampus UGM.
Pemerhati ilmu kedokteran tropis ini mengatakan, besar kemungkinan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini akan diperluas di masa mendatang setelah mendapatkan hasil dari penelitian dan pengamatan dari hasil dua padukuhan tersebut. “Hasilnya, sangat menjanjikan. Meski saat ini masih berlangsung tapi yang dapatkan nyamuk ber-Wolbachia bisa berkembang biak mengikuti fase alamiahnya,” katanya.
Rencananya dalam waktu dekat, kata Doni, demikian ia akrab disapa, EDP UGM akan melepas nyamuk ber-Wolbachia di empat lokasi penelitian di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sementara pelepasan nyamuk Aedes aegypti di Krongahan dan Nogotirto sudah dimulai sejak awal Januari lalu. Hasilnya, diketahui sebagian besar nyamuk yang mengandung Wolbachia tersebut kawin dengan nyamuk biasa. Dipastikan Wolbachia akan diturunkan dari induk betina ke generasi selanjutnya.
Seperti diketahui, Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada sel tubuh serangga dan ditemukan di 60 persen spesies serangga seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang hingga nyamuk. Namun bakteri ini tidak ada pada nyamuk Aedes aegypti yang selama ini dikenal sebagai vektor penular virus Dengue.
Berdasarkan keterangan dari Doni, kemampuan Wolbachia menghambat menekan replikasi Dengue disebabkan kemampuan bakteri ini dalam berkompetisi dengan virus Dengue merebut makanan di sel tubuh nyamuk. “Adanya Wolbachia justru meningkatkan ketahanan tubuh nyamuk dari virus Dengue,” katanya.
Tapi apakah orang bisa tertular Wolbachia lewat gigitan nyamuk? Peneliti EDP lainnya, dr. Eggi Arguni, Sp.A(K), menuturkan sangat kecil kemungkinan nyamuk bisa menularkan Wolbachia ke manusia. Pasalnya diameter Wolbachia melebihi dari probosis, bagian dari mulut nyamuk untuk menghisap darah dan menembus kulit manusia. “Diameter Wolbachia lebih besar dari probosis nyamuk. Secara teori tidak mungkin menular apalagi Wolbachia tidak bisa hidup di sel mamalia,” imbuhnya.
Eggi menambahkan, setiap nyamuk yang dilepas di rumah-rumah penduduk sebelumnya telah diskrining agar bebas dari virus Dengue dan Chikungunya. Kekhawatiran dan penolakan kelompok masyarakat sebelumnya bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia memperbesar risiko penularan DBD ternyata tidak terbukti. Kendati selama 9 bulan pasca pelepasan nyamuk, hanya 9 kasus DBD yang ditemukan. Itupun masih diragukan apakah korban DBD tersebut terkena gigitan di tempat tinggalnya atau dari tempat lain. “Kemungkinan tertular di tempat yang lain sangat besar. Tapi yang perlu kita tegaskan, tidak ada penularan lokal di kedua wilayah tersebut, tidak ada indikasi yang kita temukan,” ungkapnya.
Penelitian bersama yang melibatkan beberapa negara seperti Australia, Vietnam, Brasil dan Kolombia ini masih terus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jika nantinya terbukti efektif, tidak menutup kemungkinan pemanfaatan nyamuk ber-Wolbachia bisa menjadi alternatif untuk mengatasi penyebaran virus Dengue di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penderita DBD di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, meski angka kematian terus menurun. Sepanjang 2012, Kemenkes mencatat ada 90.245 penderita, angka kematian mencapai 816 orang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)