Ketika pemerintah membuat kebijakan publik, disitulah pemerintah sesungguhnya sedang menanamkan nilai-nilai tertentu pada masyarakat, sebab setia kebijakan mengandung seperangkat nilai didalamnya. Oleh sebab itu, setiap kebijakan publik hendaknya mengandung tujuan, nila-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, ketika bertentangan maka akan ada resistensi atasnya. Demikian diungkapkan Fajrul Falaakh, MA, MSc dalam seminar di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM.pada hari Jum’at, 15 Juli 2005
Menurutnya, kerangka semacam itu, kebijakan publik hendaklah dilihat sebagai suatu sistem input, konversi dan output. Dengan mendasarkan pada hal ini maka ada dua variabel makro yang mempengaruhi kebijakan publik yakni variable domestik dan internasional. “Dua variabel ini akan berpengaruh pada pembuatan kebijakan yang bersifat nasional dan regional, sehingga masyarakat diharapkan memberikan umpan balik atas apa yang telah dibuat oleh pemerintah,” ujar Dosen Fakultas Hukum UGM.
Melihat kecenderungan seperti itu, sesungguhnya kebijakan publik haruslah mengagendakan keterlibatan masyarakat demi menumbuhkan sistem pemerintahan yang baik. Pertanyaannya, kondisi seperti apa yang dapat mendukung keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pemuatan kebijakan. Keterlibatan masyarakat penting adanya sebagai kontrol atas pemerintahan agar menjadi pemerintahan yang bersih dan baik. “Kontrol masyarakat bisa melalui lembaga swadaya masyarakat, partai politik, universitas, asosiasi-asosiasi serta media massa,” ungkapnya.
Namun begitu, ada banyak kebijakan yang terjadi tidak mengindahkan hal-hal fundamental dari traktat kebijakan publik sehingga berdampak pada adanya ketidakadilan pada warga negara. Penyebabnya disinyalir karena luasnya kebijakan spectrum publik yang ditanggung pemerintahan. “Pemerintah seringkali bersikap mendua dan ambigu sehingga tidak jarang pemerintah membuat diskresi untuk memutus apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan,” tuturnya.
Ditambahkan, kompleksitas problem kebijakan publik semakin kentara tatkala berhadapan dengan persoalan internasional, juga local. Dalam perspektif HAM dikenal adanya nilai-nilai universal yang berlaku untuk semua, tetapi juga ada wilayah-wilayah lokasitas yang tampaknya harus diakomodir, sehingga HAM juga ada yang memahaminya dapat memiliki batasan dan relativitas sesuai dengan lokalitas. “Lantas, manakah batas-batas universal HAM dan manakah relativitas atau lokalitas HAM sehingga kebijakan publik dapat terimplementasi sesuai dengan gagasan awalnya memiliki nilai, tujuan, dan output,” jelasnya. (Humas UGM)