Pilkada Tidak Langsung (PTL) dinilai akan semakin menyuburkan korupsi di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang notabene hanya ada di Jakarta, akan kewalahan menangani kasus korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif akibat PTL tersebut. Deputi Penelitian, Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rimawan Pradiptya, Ph.D menjelaskan ketika koruptor tumbuh subur di daerah-daerah akibat PTL, KPK dan PPATK berpotensi diperangi oleh aliansi koruptor untuk dilemahkan bahkan dihancurkan.
“Berdasarkan argumen ekonomi dengan menggunakan alat analisis game theory, pilkada tidak langsung ini menciptakan dampak buruk lebih banyak bagi rakyat daripada pilkada langsung,” papar Rimawan di UGM, Senin (6/10).
Rimawan menyebutkan adanya enam biaya pilkada, baik pada sistem Pilkada Langsung (PL) maupun PTL, yaitu biaya pelaksanaan pilegda, biaya kampanye pilegda, biaya politik uang pilegda, biaya pelaksanaan pilkada, biaya kampanye pilkada dan biaya politik uang pilkada. Jika biaya-biaya yang ditimbulkan oleh PL dianggap sebagai pembanding, PTL unggul dalam hal biaya pelaksanaan pilkada dan biaya kampanye pilkada yang cenderung minimum. Namun demikian, pelaksanaan PTL bertendensi meningkatkan biaya politik uang pilegda dan biaya politik uang pilkada.
“Ini mungkin terjadi karena dalam PTL anggota DPRD terpilih berpotensi besar mengalihkan beban pemenangan pilegda yang ditanggungnya kepada calon kepala daerah. Jika strategi ini berhasil, maka dalam jangka menengah dan panjang akan diikuti oleh calon legislatif daerah yang lain,” katanya.
Selain itu, dalam sistem PL, kolusi antara anggota DPRD dan kepala daerah cenderung lebih sulit daripada dalam sistem PTL. Terdapat kecenderungan calon kepala daerah terpilih, bukanlah calon kepala daerah yang berkualitas dengan menawarkan program berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Dalam sistem PTL potensi kolusi antara kepala daerah dan anggota DPRD akan meningkat sehingga merugikan rakyat,” tutur Rimawan.
Sementara itu di tempat sama, pengamat politik UGM Dr. Mada Sukmajati melihat disahkannya UU Pilkada tidak langsung akan mendorong munculnya oligarki di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini. Mada mengatakan disahkannya UU PTL merupakan gerakan balik anti demokrasi.
“Termasuk sebelumnya pengesahan UU MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3),” imbuh Mada.
Mada berharap DPR bisa belajar dari pengesahan UU PTL tersebut. Dalam membuat kebijakan diharapkan DPR bisa mengkaji secara mendalam baik dari sisi ekonomi hingga sosial. Jangan sampai produk undang-undang yang dihasilkan berorientasi terbatas dan jangka pendek. “Ya solusinya nanti melalui revisi lewat Perpu atau UU yang baru,” pungkasnya. (Humas UGM/Satria)