Beberapa hari belakangan ini seluruh jajaran birokrasi sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, mulai dari dari jajaran pusat sampai tingkat penyuluh di desa-desa, sibuk sekali menterjemahkan apa yang dikumandangkan sebagai RPPK: Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Demikian yang diungkapkan Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc pada hari Rabu, 19 Juli 2005.
“Untuk melihat belenggu permasalahan pembangunan sektor PPK ini ada baiknya kita lakukan review bersama terhadap model pembangunan yang diadopsi beberapa dekade belakangan oleh Negara. Model pembangunan yang kemudian dikenal sebagai Model Pembangunan Asia ini telah menjerumuskan beberapa negara di Asia dalam krisis moneter mengikuti kemerosotan mata uang Baht Thailand, pertengahan 1997. Model pembangunan tersebut bersifat sangat monolitik-sentralistik, otoriter dan mengedepankan peran Negara sebagai kekuatan utama perekonomian bangsa,” ujar pak Maksum.
Dalam makalah berjudul “Prasyarat RPPK: Lepaskan Dulu Belenggu Sektoral” pak Maksum mengatakan bahwa adopsi pembangunan monolitik-sentralistik beberapa negara Asia (Singapore, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan) tersebut ternyata masih cukup handal dan mudah bangkit ketika terhempas dalam krisis moneter. Tidak demikian halnya dengan Indonesia yang tidak kunjung bangkit. “Tentu sangat beralasan untuk melakukan kaji-anatomis atas ketertinggalan ini pada saat perekonomian bangsa-bangsa lain cepat sembuh dan kemudian bangkit kembali,” tutur pak Maksum.
Dijelaskan pak Maksum bahwa karakteristik model utama pembangunan beberapa negara tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan. Kecuali bersifat monolitik-sentralistik dan otoritarian, model pembangunan perekonomian negara-negara tersebut juga sangat dikotomis, menghadapkan antara sektor tradisional dan moderen, pertanian dan non-pertanian, domestic dan foreign-based, labor dan capital-intensive, serta skilled-unskilled based industry. “Orientasi modernitas ekonomi sebagaimana diajarkan oleh teori pembangunan ternyata telah menyesatkan negara-negara tersebut dalam krisis,” kata pak Maksum.
Lebih lanjut pak Maksum menuturkan bahwa dikotomi Ekonomis PPK-non PPK berlebihan yang dilakukan oleh Indonesia telah membedakan tingkat ketahanan ekonomi nasional Indonesia yang teramat terbatas dibandingkan dengan negara-negara sahabat yang telah sepenuhnya pulih dari krisis. Untuk mendukung semangat modernitas yang berlebihan, Indonesia telah melakukan pemihakan kebijakan (policy bias) berlebihan, at all cost. “Konsentrasi sumberdaya pembangunan (sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya finansial) secara berlebihan pada sektor moderen telah serta merta mengakibatkan PPK menjadi sektor marjinal, tidak menarik dan sekedar menjadi tumbal pembangunan,” jelas pak Maksum.
Pak Maksum juga menambahkan bahwa dalam posisi inilah PPK selama ini lebih banyak berfungsi sebagai: (i) pelayan pembangunan melalui produksi pangan dan bahan baku murah; (ii) penunjang sektor modern yang layak hidup (viable) karena pangan murah; (iii) menjadi penampungan tumpahan angkatan kerja ketika negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja; (iv) target fiskal negara secara berlebihan; dan (v) pengaman inflasi ketika Negara menghadapi pemanasan ekonomi dan bahaya inflasi dia digit.(Humas UGM).