![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/10/0810141412754521977562442-767x510.jpg)
Praktek kekerasan mengatasnamakan agama, suku, ras, dan golongan marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan kondisi semakin parah karena tidak adanya ruang publik yang mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling berdialog.
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dra. Khofifah Indar Parawansah, M.Si., menegaskan pemerintah perlu membuka ruang publik untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Dengan dibukanya ruang dialog diharapkan mampu meminimalisir kemungkinan munculnya berbagai aksi kekerasan serta saling berkompromi untuk kepentingan bersama. Bahkan sebagai wahana membangun ruang komunikasi bagi masyarakat Indonesia yang multikultur dan plural agar tidak melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sebagai upaya mewujudkan perdamaian.
Upaya mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan dikatakan Khofifah harus dilakukan secara terstruktur dan komperehensif. Didukung dengan regulasi dan penegakan hukum dan kelembagaan yang kuat, kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, LSM, sektor privat serta dukungan masyarakat internasional.
“Pemberian materi pendidikan multikultur yang diintegrasikan melalui kurikulum sekolah maupun penguatan konten bagi para tokoh agama juga perlu dilakukan,” terangnya Rabu (8/10) dalam Simposium Perdamaian Internasional di UC UGM.
Menurutnya sosialisasi empat pilar bangsa juga perlu disebarluaskan secara lebih sistematis dan merata dengan metode yang lebih partisipator dan dialogis. Hal itu ditujukan agar komitmen sebagai bangsa yang plural dan multikultur dapat terwujud dalam sikap dan perilaku bangsa. Tak hanya itu dialog dan komitmen antar penyelenggara media perlu diintensifkan dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk ormas keagamaan agar wacana-wacana yang berkembang tidak menimbulkan keresahan dan memicu ketegangan di masyarakat.
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A., menuturkan dalam upaya menciptakan keadilan selayaknya negara menunjukkan sikap netral terhadap berbagai kelompok sosial di masyarakat. Hal itu ditunjukkan dengan aparat negara yang tidak memihak salah satu kelompok dan responsif terhadap permasalahan yang muncul.
“Jika ada yang melakukan kekerasan dikriminalisasikan ,” jelasnya.
Ditekankan pula oleh Siti, perlunya dilakukan penguatan fungsi penegakan hukum untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan yang mungkin timbul. Juga mendorong masyarakat madani untuk menggerakan modal sosial bagi perdamaian warga.
“Masyarakat juga butuh didorong melakukan resolusi konflik tanpa kekerasan,” katanya.
Drs. Udin, M.Pd., salah satu jamaah Ahmadiyah NTB dalam kesempatan itu membagi pengalaman dalam mengatasi kekerasan yang menimpa jamaah Ahmadiyah di Lombok, NTB. Dari tahun 1998 sampai 2006 mengalami serangkaian penyerangan yang berakhir dengan tindakan pengusiran. Ia mengungkapkan dalam menghadapi kekerasan warga pengungsi Ahmadiyah Lombok NTB mengikuti arahan dalam Al-Qur’an dengan mengimplementasikan Islam sebagai agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh (Rahmatan lil Alamin). Misalnya, setiap menghadapi aksi kekerasan dibalas dengan aksi kemanusiaan dan sosial. Seperti pada tahun 2002 silam membantu warga non-Ahmadi di Desa Sambelia Lombok Timur yang terkena banjir bandang. Demikian halnya saat bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Dalam bergaul tidak memandang suku , agama, maupun kepercayaan. (Humas UGM/Ika)