Universitas Gadjah Mada (UGM) pada hari Senin, 25 Juli 2005 kembali meluluskan 860 wisudawan/wisudawati program Pasca Sarjana Periode Juli 2005 di Grha Sabha Pramana UGM. Dari 860 lulusan, terdiri atas 5 doktor, 831 pemegang gelar magister lulusan 73 program studi pasca sarjana, 1 spesialis kedokteran gigi, dan 23 spesialis kedokteran, dan 5 orang doctor. Dengan demikian hingga saat ini UGM telah menghasilkan 28.461 lulusan pascasarjana yang terdiri atas 27.112 magister, 699 spesialis dan 651 doktor.
Pada acara wisuda Periode Juli 2005 ini 110 wisudawan dan wisudawati telah mencapai prestasi istimewa dengan predikat Cum-laude. Untuk waktu studi tersingkat pada wisuda periode ini dicapai oleh lulusan dari Program Studi Teknik Mesin dan Magister Sistem Transportasi yaitu 1 tahun 4 bulan. Sedangkan waktu studi paling lama dicapai lulusan dari Program Studi Sosiologi (PMD) dengan waktu 5 tahun 3 bulan.
Dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. Dr. Sofian Effendi menyampaikan bahwa keterpurukan pendidikan di Negara berkembang bukan saja kualitas rendah tetapi juga tingkat partisipasi yang rendah. Saat ini hanya 1 dari 10 orang Indonesia yang berumur 19-24 tahun dapat mengeyam pendidikan tinggi. Padahal di Mesir dan Malaysia, 3 dari 10 kohor tersebut sudah berhasil mengeyam pendidikan tinggi. “Agar mampu bertahan pada ekonomi global yang semakin ketat persaingannya, bangsa Indonesia harus menyediakan ragam dan jenis pendidikan menangah dan tinggi yang tepat dan bermutu tinggi,” ungkap Prof. Sofian.
Namun, Prof. Sofian menuturkan, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas untuk menyediakan layanan pendidikan untuk 3,5 –4 juta penduduk usia 19-24 tahun, agar 2 dari setiap 10 penduduk kohor usia tersebut mampu
mengeyam pendidikan tinggi. Sebaliknya negara maju seeprti Amerika Serikat, Britania Raya dan Australia melihat kesenjangan ini sebagaipeluang bisnis yang amat menjanjikan dan segera mengadakan restrukturisasi sektor pendidikannya menjadi education industry. Restruktur-isasi tersebut segera diikuti oleh Negara-negara industri baru antara lain China, Singapura, dan beberapa Negara Eropa. Karenanya pemerintah negara-negara tersebut berusaha keras memasukkan layanan pendidikan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat (life-long education) sebagai industri jasa (service) yang perdagangannya perlu diatur oleh World Trade Organization (WTO) dan diatur dalam General Agreement on Trade in Service (GATS). “Dengan demikian pendidikan selama hayat tidak lagi berada dalam wilayah kegiatan budaya yang diatur oleh UNESCO, tetapi berubah menjadi
suatu kegiatan industrial yang diatur perdagangannya oleh WTO,” jelas Prof. Sofian.
Lebih lanjut Prof. Sofian mengungkapkan, karena desakan dari beberapa Negara anggota WTO serta lembaga itu sendiri, pada penandatanganan GATS di Hongkong pada Desember 2005, Pemerintah Indonesia telah “bertekuk lutut” dan akan menawarkan untuk membuka akses kepada negara-negara asing untuk membuka pendidikan menengah teknik dan kejuruan, perguruan tinggi, serta pelatihan ketrampilan.
Prof. Sofian juga menambahkan, dengan menandatangani perjanjian GATS tersebut, pemerintah negara-negara berkembang telah melakukan perubahan paling mendasar terhadap tujuan pendidikan. Pendidikan bukan lagi merupakan suatu kegiatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia, atau dalam bahasa Konstitusi 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi telah berubah menjadi kegiatan industrial atau komoditi ekonomi. “Mudah-mudahan para menteri yang akan menandatangani GATS menyadari betapa perjanjian tersebut akan membawa implikasi jangka panjang yang besar bagi bangsanya,” tegas Prof. Sofian. (Humas UGM)