JAKARTA – Dekan Fakultas Hukum UGM, Dr. Paripurna Suganda mengatakan kejahatan korporasi yang melakukan praktik monopoli dan kartel lebih berbahaya dibanding kejahatan korupsi. Bila korupsi yang dirugikan adalah uang Negara, sementara praktik monopoli dan kartel sebaliknya uang rakyat yang dikuras lewat harga yang harus dibayar menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
“Kejahatan ini tidak kasat mata dan tidak mudah dipahami, karena yang disedot bukan uang negara tapi uang rakyat. Celakanya kewenangan yang diberikan kepada KPPU untuk mengawasinya jauh lebih kecil dibanding kewenangan yang diberikan kepada KPK,” kata Paripurna dalam “Diskusi Kajian Aspek Hukum dan Penguatan Kelembagaan KPPU dalam Pengawasan Persaingan Usaha” yang berlangsung di gedung Kampus UGM Jakarta, Kamis (9/10). Selain Paripurna, hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM, Anggota Komisioner KPPU Dr. Sukarmi dan Dr. Syarkawi Rauf.
Menurut Paripurna tugas KPPU dalam melakukan pengawasan persaingan usaha seharusya mendapat landasan hukum yang kuat di konstitusi. Soalnya, persaingan usaha di Indonesia besar kemungkinan dilakukan lewat praktik monopoli dan kartel karena konsentrasi ekonomi dikuasasi oleh segelintir pengusaha kaya. Dia menyebutkan, ada 40 orang kaya Indonesia yang aset kekayaannya setara dengan separuh APBN. “Konsentrasi ekonomi dikuasai segelintir orang. Akibatnya rasio antara si kaya dan si mikisn makin lebar,” paparnya.
Paripurna mengusulkan KPPU butuh kewenangan yang kuat untuk mengatur pengawasan persaingan usaha lewat revisi UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kedepan, menurutnya KPPU perlu mengaturaturan konglomerasi, holding company, enterprises group dan kombinasi enterprises.
Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M, menuturkan konsep kelembagaan KPPU perlu diatur dengan meniru konsep kelembagaan yang ada di KPK yang memiliki kewenangan yang lebih besar. Menurutnya konsep kelembagaan KPPU sebagai lembaga Negara yang independen seharusnya tidak diangkat dan diberhentikan oleh presiden lewat persetujuan DPR. “Komisi ini diatur oleh Kepres sehingga bertanggungjawab pada presiden padahal sebagai lembaga yang independen bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun,” terangnya.
Komisioner KPPU Sukarmi mengaku kewenangan yang dimiliki KPPU dalam memeriksa dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat bahkan sanksi yang diberikan hanya dalam bentuk sanksi adminsitratif sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku atau perusahaan yang bermasalah. “Denda pun hanya dalam bentuk keuntungan yang tidak wajar untuk dikembalikan,” ujarnya.
Menurutnya kewenangan KPPU seharusnya hampir sama dengan KPK untuk memeriksa dan menyita dokumen, serta menyadap dan mengungkap kolusi dari praktik kartel. Oleh karena itu, kata Sukarmi, kasus-kasus yang ditangani oleh KPPU saat ini sebagian besar lebih banyak kasus pengadaan barang dan jasa. “80 persen persoalan yang ditangani KPPU di bidang tender,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)