![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/10/0810141412748762159140348-765x510.jpg)
Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi UGM meminta panitia seleksi panitia seleksi (pansel) bisa bekerja secara profesional dalam memilih calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni dengan memilih figur yang bebas dari kontrak politik dengan entitas politik manapun. Dengan begitu calon pimpinan KPK terpilih nantinya tidak akan mudah diintervensi oleh partai politik tertentu.
“Jangan pilih figur calon pimpinan yang memiliki kepentingan politik karena karena bisa melemahkan upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang,” tandas Hifdzhil Alim, peneliti Pukat Korupsi UGM saat jumpa pers dengan wartawan, Jumat (10/10).
Menurutnya calon pimpinan harus bebas dari afiliasi politik agar tidak tersandera oleh kepentingan politik dengan partai tertentu. Dengan begitu, upaya dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik tanpa adanya tekanan kepentingan politik dari pihak manapun.
Tak hanya itu, ia juga menekankan dalam memilih pimpinan KPK nantinya tidak meloloskan figur yang memiliki afiliasi ekonomi dengan perusahaan tertentu. Memilih calon yang yang tidak merangkap jabatan pada perseroan terbatas baik swasta maupun negara.
“Karena melihat dari sejarah pimpinan KPK di masa lalu ada yang ditangkap dari unsur swasta dan parpol karena memiliki konflik of interset. Jadi memang sebaiknya dipilih calon pimpinan bebas dari kepentingan politik dan ekonomi,” tegasnya.
Karenanya pihaknya akan memberikan masukan terkait kriteria sosok pimpinan KPK nantinya. Selain tidak berafiliasi politik dan ekonomi juga sosok yang berani membongkar kasus korupsi di sektor strategis seperti mafia migas, mafia sumber daya alam, mafia peradilan dan mafia politik.
Hidzhil berharap dalam seleksi di DPR nantinya bisa dilakukan secara transparan dan membuka ruang partisipasi publik untuk memberikan masukan.
“Masyarakat harus terus ikut memantau pelaksanaan pemilihan komisioner KPK dan mewaspadai adanya gerakan operasi senyap yang mungkin terjadi saat pemilihan nantinya,” jelasnya.
Pasalnya selama dua minggu terakhir perhatian masyarakat tersita oleh hiruk pikuk pelantikan anggota dan pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Sehingga proses pemilihan pimpinan KPK menjadi tidak terpantau oleh masyarakat.
Hasrul Halili, peneliti Pukat lainnya menambahkan kriteria calon pimpinan KPK adalah yang tidak terindikasi dalam tindak korupsi di masa lalu karena akan berpengaruh terhadap gerakan anti korupsi di masa datang.
“Kita patut khawatir akan nasib pemberantasan korupsi kedepan,” terangnya.
Kekhawatiran tersebut kata Hasrul semakin menguat dengan rencanya pimpinan baru merevisi UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No, 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Revisi terhadap UU ini merupakan upaya memangkas kewenangan KPK. Hal ini mungkin terjadi melihat figur-figur di DPR saat ini yang kerap berurusan dengan KPK,” paparnya.
Irwan dari Jaringan Anti Korupsi DIY berharap agar pimpinan KPK mendatang bisa menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang terjadi di daerah. Pasalnya selama ini KPK hanya fokus terhadap kasus yang terjadi di tingkat pusat, sementara persoalan di tingkat daerah belum tersentuh secara keseluruhan.
“Persoalan di daerah selama ini tidak direspon dengan baik,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, dari berbagai kasus yang terjadi di DIY, baru satu kasus yang ditindaklanjuti yakni kasus korupsi buku ajar Sleman.
“Hal ini cukup memprihatinkan karenanya kami minta KPK untuk menyelesaikan kasus korupsi di daerah,” tuturnya.
Seperti diketahui saat ini pansel telah menetapkan enam calon pimpinan KPK dari 104 pendaftar. Mereka adalah Jamin Ginting (akademisi), Busyro Muqqodas (komisioner KPK), Ahmad Taufik (mantan jurnalis), I Wayan Sudirta (anggota DPD), Robby Arya Brata (advokat), Subagiyo (pegawai biro perencanaan dan anggaran KPK). Seleksi dilakukan untuk mencari pimpinan KPK pengganti Busyro Muqqodas yang akan habis masa tugasnya pada Desember 2014 mendatang. (Humas UGM/Ika)