Perkembangan destinasi pariwisata berbagai provinsi di Indonesia berbeda-beda secara signifikan. Perbedaan tersebut sebagian terjadi akibat pemekaran wilayah provinsi (Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku Utara) yang secara otomatis mengurangi angka wisatawan di provinsi induk pada tahun 2012. Siklus hidup destinasi pariwisata Indonesia berbeda-beda setiap provinsi akibat latar belakang perkembangan, perubahan lingkup wilayah, dan intensitas serta keberlanjutan penyelenggaraan event atraksi pariwisata.
“Siklus hidup satu atau beberapa destinasi pariwisata Indonesia tidak selalu positif vertikal tetapi juga negatif vertikal yang diakibatkan oleh peristiwa politik dan alam,”papar mahasiswa program doktor Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM, Awaludin Nugraha dalam diskusi Perkembangan Siklus Hidup Destinasi Pariwisata di Indonesia, Jumat (17/10) di Pusat Studi Pariwisata UGM.
Awaludin menjelaskan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) dan devisa sektor pariwisata yang diraih Indonesia menunjukkan kecenderungan positif dalam 10 tahun terakhir. Namun hal itu tidak menggambarkan situasi nyata perkembangan destinasi pariwisata antardaerah. Siklus hidup sebagian destinasi pariwisata Indonesia tidak bergeser atau “stationer” pada fase eksplorasi, meskipun durasi waktu yang dilalui mencapai 10 tahun.
“Ini memang berbeda dengan asumsi model Tourist Area Life Cycle (TALC),” katanya.
Sementara itu peneliti lainnya Ani Wijayanti menambahkan bahwa kinerja sektor pariwisata terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Jumlah wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 5,033 juta (2002) dan naik menjadi 8,044 juta orang (2012). Tren ini diikuti oleh jumlah devisa yang diraih naik dari 4,305 miliar dolar (2002) menjadi 9,120 miliar dolar (2012).
“Secara nasional angka ini menunjukkan sinyal perkembangan positif dan menjanjikan. Efeknya juga signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, sebab diasumsikan sektor pariwisata memiliki efek pengganda yang besar,” tambah Ani.
Namun, distribusi perkembangan pariwisata tidak merata di tingkat provinsi, sebagaimana penelitian yang mereka lakukan. Secara geografis konsentrasi wisatawan tetap berada di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Untuk itu, Ani berharap agar perencana di tingkat provinsi dan pusat sebaiknya menggunakan realitas siklus hidup setiap destinasi sebagai basis perumusan kebijakan pengembangan destinasi. (Humas UGM/Satria)