Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM meminta Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk segera menangani pengungsi dari Kelompok Ahmadiyah dan kelompok Syiah yang telah lama tinggal di pengungsian akibat konflik agama. Setidaknya terdapat 100 penganut Ahmadiyah di NTB yang tinggal di Wisma Barito, Mataram sejak tahun 2006 silam. Sementara sekitar 200 penganut Syiah Sampang, Madura ditampung di Rusunawa Sidoarjo pada tahun 2012 hingga sekarang.
“Upaya mengembalikan mereka ke kampung halamannya harus segera dirintis,” tegas Mohammad Iqbal Ahnaf dosen sekaligus peneliti CRCS UGM, Senin (20/10) saat jumpa pers di Ruang Fortakgama UGM.
Iqbal mengatakan langkah mengembalikan pengungsi Ahmadiyah di Mataram bukanlah hal yang mudah. Mereka telah meninggalkan kampung halaman lebih dari delapan tahun sehingga ikatan dengan kampungnya sudah memudar. Berbeda dengan pengungsi Syiah Sampang yang belum lama tinggal di pengungsian menjadikan ikatan terhadap kampung halamannya masih sangat kuat. Bahkan pernah ada inisiatif rekonsiliasi akar rumput yang bisa menjadi modal kuat rekonsiliasi.
“Yang menjadi catatan, pemulangan dan rekonsiliasi seharusnya tidak sertai dengan upaya mengubah keyakinan mereka. Seperti pernah diupayakan pemerintah melalui Kemenag karena keyakinan berada di luar urusan pemerintah,” paparnya.
Pemenuhan hak-hak dasar para pengungsi seperti mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, serta kesehatan yang layak, lanjutnya, perlu diupayakan pemerintah selama masih tinggal di tempat penampungan. Pasalnya selama ini hak-hak dasar pengungsi dari kedua kelompok tersebut belum dipenuhi dengan selakyaknya.
“Kalau pemerintahan baru nantinya bisa berhasil menangani persoalan ini merupakan suatu capaian yang cukup bagus. Hal ini penting untuk pengelolaan keberagaman agama di Indonesia,” ujarnya.
Sementara untuk meminimalisir potensi konflik terkait penodaan agama dan sengketa rumah ibadah, menurutnya perlu dilakukan kajian ulang terhadap UU PPA tahun 1965 tentang penodaan agama dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang diantaranya mengatur pendirian rumah ibadah. Untuk sementara UU PPA masih berlaku penggunaannya sebaiknya diminimalisasi.
“Namun lebih baik lagi jika dilakukan revisi atau mengganti dengan UU yang dapat menjamin agar tuduhan penodaan tidak menjadi alat provokasi untuk menebar kebencian dan menghasut kekerasan terutama pada kelompok-kelompok rentan,” jelasnya.
Upaya lain, lanjutnya, bisa dilakukan dengan memaksimalkan fungsi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai lembaga yang memediasi konflik keagamaan. Hingga saat ini telah terbentuk lebih dari 500 FKUB di kabupaten/kota di wilayah Indonesia. Hanya saja, kondisi itu belum menunjukkan kualitas yang seragam. Di beberapa tempat FKUB bisa berfungsi secara efektif, namun di lain tempat justru menjadi sumber masalah. Karenanya penting untuk meningkatkan kapasitas anggota FKUB dalam pengelolaan keragaman dan melakukan rekrutmen dengan memperhatikan unsur kemampuan dalam mengembangkan hubungan baik antar kelompok dan menangani persoalan.
Syamsul Ma’arif, peneliti CRCS lainnya menyampaikan rekomendasi terkait diskriminasi dalam pengakuan negara atas agama. Langkah pertama dengan memberikan pengakuan yang sama untuk semua pemeluk agama di Indonesia. Salah satunya dengan mengubah status aliran kepercayaan dari posisi yang saat ini di bawah Kemendikbud ke Kemenag. Posisi yang sama juga diperlukan oleh agama-agama lokal yang sampai sekarang belum diakui sebagai agama oleh negara.
“Dengan perubahan status ini bisa membersihkan stigma negatif yang selama ini diasosiasikan pada mereka,” katanya.
Untuk menghindari dikriminasi berdasar agama juga bisa dilakukan dengan menghapus kolom agama dalam KTP. Hanya saja, Syamsul tidak memungkiri bahwa cara ini dipastikan akan menuai kontroversi. Apabila jalan tersebut tidak dapat ditempuh, ia menyarankan untuk memperluas identitas agama atau kepercayaan dalam KTP. Misalnya, diisi penghayat kepercayaan termasuk alirannya.
Sementara peneliti CRCS lainnya, Suhadi menungkapkan saat ini banyak bermunculan peraturan daerah (perda) yang diskriminatif atas dasar agama khusunya terkait Islam. Setidaknya terdapat 250 perda yang didalamnya terdapat unsur diskriminatif. Perda tesebut secara eksplisit merugikan sebagian umat Islam sendiri dan juga non- Islam. Perda diskriminatif bermunculan dan terkonsentrasi di beberapa wilayah Indonesia. Terbanyak di Aceh karena memiliki otonomi khusus.
“MA dan Kemendagri perlu melakukan review terhadap perda-perda dsikriminatif, bukan hanya perda yang menaikan pendapatan daerah atau mengurangi pendapatan pusat,”jelasnya.
Selain hal itu, Suhadi menegaskan perlunya upaya dari Kemendagri untuk lebih meningkatkan kualitas perda. Diantaranya dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pembuat peraturan. Wawasan konstitusi, termasuk prinsip-prinsip terkait hak asasi manusia perlu diarusutamakan dalam pembuatan kebijakan daerah.
“Sejumlah rekomendasi tersebut akan kami sampaikan kepada pemerintahan baru untuk menjadi masukan pengelolaan keragaman agama di Indonesia,” tuturnya. (Humas UGM/Ika)