Fakultas Kehutanan UGM mendorong pemerintah baru untuk mengubah paradigma pembangunan sektor kehutanan yang ditengarai belum mampu mengapresiasi nilai pemanfaatan hutan tropis yang berdampak rendahnya nilai tambah produk kehutanan. Pasalnya, saat ini kontribusi sektor kehutanan terhadap ekonomi nasional dinilai semakin menurun. Pada tahun 1999 sektor kehutanan mampu berkontribusi sebesar 1,26 persen dan menurun menjadi 0,67 persen di tahun 2012.
“Meskipun luasan kawasan hutan mencapai 120 juta hektar, sektor kehutanan makin tidak unggul secara komparatif terhadap sektor lain,” kata Pakar Kehutanan UGM, Prof. Mohammad Na’iem baru-baru ini di Fakultas Kehutanan UGM.
Sumber daya hutan memiliki peran dan fungsi strategis dalam menjamin keberlanjutan eksosistem dan lingkungan. Namun, upaya pelestarian hutan dalam pemanfaatan hutan tropika menghadapi tantangan yang berat seperti semakin tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan tropis.
“Hal ini diindikasikan dengan merosotnya produksi kayu nasional dari 28 juta meter kubik di tahun 1990 menjadi 4,55 juta meter kubik pada tahun 2011,” ujarnya.
Sementara di tingkat global, hutan tropika sudah tidak mampu mengurangi dampak emisi gas rumah kaca. Sedangkan disisi lain, keanekaragaman hayati mengalami penurunan dan meningkatkan angka kemiskinan masyarkat sekitar hutan. Saat ini terdapat sekitar 48,8 juta orang yang tersebar di 19.410 desa berada di sekitar hutan dengan hidup bergantung dari hasil hutan.
“Kebanyakan penduduk yang tinggal di sekitar hutan merupakan masyarakat miskin yang terus akan menekan kondisi hutan yang ada,” jelasnya.
Hal tersebut tentunya menjadi kendala dalam pencapaian target Rio+20. Karenanya, diperlukan terobosan untuk mengubah pengelolaan hutan tropika dan dalam waktu yang sama mampu meningkatkan kinerja sektor kehutanan. Na’iem menegaskan bahwa pemerintah kedepan perlu mendorong perubahan paradigma pembangunan ekosistem berbasis pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan paradigma pembangunan saat ini hanya menghasilkan pembangunan yang tidak berkelanjutan karena merusak lingkungan, menguras sumber daya alam, bahkan meningkatkan jumlah angka kemiskinan.
Oleh sebab itu, dikatakan Na’iem perlu adanya perubahan mindset pembangunan sektor kehutanan yang menitik beratkan pada regulasi yang berpihak tata kelola yang baik, termasuk kepastian usaha dan pemerataan akses sumber daya hutan. Lalu melakukan pembangunan SDM dan riset yang berarah pada upaya pengelolaan hutan lestari.
“Terutama menyangkut downstream process,” terangnya.
Ditambahkan, intervensi kebijakan juga diperlukan untuk menjamin perbaikan pengelolaan hutan Indonesia secara fundamental. Antara lain dengan menyediakan benih dan bibit unggul, tenaga kerja yang handal dalam jumlah cukup dan mendapat gaji yang layak.
“Perlu ada terobosan dalam keberpihakan paradigma terhadap kelestarian hutan dengan memberi insentif dan menerapkan model bisnis yang menguatkan pertumbuhan lestari dan pemerataan,” paparnya.
Pemberian insentif kepada masyarakat yang terlibat dalam upaya pengelolaan hutan dikatakan Na’iem perlu didorong untuk menurunkan angka kemiskinan. Melalui pemberian insentif juga diharapkan dapat meningkatkan kemauan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan.
Tidak hanya itu, upaya audit dan revisi tata ruang perlu mendapatkan prioritas untuk mewujudkan keseimbangan antara pola pemanfaatan dan konservasi. Lalu memberikan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan dan pengusahaan hutan dalam pengelolaan hutan.
Dituturkan Na’iem saat ini sebagian hutan yang tersisa dalam kondisi kurang bahkan tidak produktif. Untuk meningkatkan produktifitas hutan dapat dilakukan dengan menerapkan model pembangunan hutan melalui teknik silvikultur intensif (SILIN) yang dikembangkan oleh Fakultas Kehutanan UGM. Dengan teknik ini bisa dengan cepat memulihkan kondisi hutan dan dalam memproduksi kayu. Teknik ini telah diterapkan di enam IUPHHK model di Kalimantan sejak tahun 2002 silam.
“Hasilnya menunjukkan setekah 12 tahun pasca tebang pilih, tegakan hutan yang dikelola dengan teknik SILIN sudah mendekati hutan alam dan produktivitasnya meningkat hingga 10 kali lipat,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM ini.
Sejumlah rekomendasi terkait pengelolaan hutan tersebut merupakan hasil pemikiran para pakar UGM di bidang kehutanan yaitu Prof. Soekotjo, Prof. Mohammad Nai’em, dan Oka Karyanto, S.Sp., M.Sc. Rekomendasi tersebut merupakan bagian dari Buku Putih Sapta Adicitta UGM yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan wapres Jusuf Kalla sebagai masukan untuk pembangunan dan pengelolaan hutan Indonesia ke depan. (Humas UGM/Ika)