Jumlah paten yang dihasilkan peneliti Indonesia masih tergolong rendah. Data Kementrian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa sepanjang tahun 1991 sampai 2011 tercatat sekitar 83.000 paten meliputi 5000 paten dari orang Indonesia dan 78.000 merupakan paten orang asing.
Rumitnya birokrasi ditengarai menjadi salah satu penyebab minimnya jumlah paten di Indonesia, termasuk di bidang kesehatan. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan kebutuhan alat medis dan produk kesehatan yang sangat bergantung pada impor. Seperti diketahui sekitar 90 persen alat kesehatan yang digunakan di Indonesia merupakan produk impor.
“Banyak alat-alat kesehatan yang saat ini diimpor sebenarnya alat-alat yang sederhana dan seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri,” kata Prof.dr. Adi Utarini, MPH., M.Sc., Ph.D, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerja Sama FK UGM, Selasa (21/10) di sela-sela konferensi Technomed Fakultas Kedokteran UGM.
Utarini menyebutkan bahwa sebenarnya tidak sedikit peneliti Indonesia yang telah menciptakan alat medis dan produk kesehatan inovatif. Namun, kebanyakan temuan mereka belum dipatenkan karena terkendala proses mendapatkan paten yang rumit dan memakan waktu dan biaya besar.
“Kami minta pemerintah nantinya bisa mempermudah para peneliti dalam mendapatkan paten. Dengan banyaknya alat dan produk kesehatan buatan dalam negeri akan mengurangi ketergantungan pada produk impor,” tandasnya.
Pihaknya juga mendorong para peneliti di FK UGM untuk terus menciptakan alat medis dan produk kesehatan yang inovatif. Juga meningkatkan kolaborasi antara peneliti FK UGM dengan peneliti dari fakultas lain untuk memproduksi alat medis yang dapat dipasarkan.
“Kami juga berusaha untuk melakukan komunikasi dengan industri untuk menjajaki kemungkinan kerjasama dalam pemasaran produk,” terangnya.(Humas UGM/Ika)