Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai sejak dini, yaitu tahun pertama pendidikan kedokteran. Pendidikan etik kedokteran memberikan tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari.
“Dokter selalu terikat dengan etika, disiplin dan hukum ketika praktek,” papar Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowiyoto, SpTHT (K) di sela-sela persiapan Pertemuan Ilmiah Tahunan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PIT PERDAMI) di Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (22/10). Simposium dan medikolegal PIT Perdami ke-39 akan dilaksanakan, 1 November mendatang. Pada kesempatan itu Soenarto didampingi oleh Dr. Agus Supartoto, Sp.M (K) selaku ketua Perdami DIY serta ketua panitia acara Prof. dr. Suhardjo, SU, Sp.M (K).
Soenarto mengingatkan bahwa dokter selalu terikat dengan etika, disiplin dan hukum ketika praktek. Kondisi tersebut harus didukung pula dengan profesionalitas dokter baik secara keilmuan, keahlian dan perilaku. Pakar bioetika FK UGM ini menilai profesionalisme dokter dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.
“Ada peningkatan karena memang sudah ditekankan sejak dini dan sudah disertai uji kompetensi dokter,” tuturnya.
Senada dengan itu Prof. dr. Suhardjo mengatakan adanya tumpang tindih antara aspek etik dan aspek hukum pada isu tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etik.
“Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif,”kata Suhardjo.
Menurut Suhardjo keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
“Masih terjadi tumpang tindih atau perbedaan persepsi di sana,”urainya.
Nilai-nilai materialism yang dianut masyarakat saat ini harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti menghormati hak pasien, melakukan tindakan untuk kebaikan pasien, tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan bersikap adil dan jujur (Humas UGM/Satria)