Keistimewaan yang disandang Yogyakarta saat ini diharapkan tidak berhenti pada status semata. Keistimewaan tersebut diharapkan mampu dikelola melalui paradoksal pemikiran yang dimiliki masyarakat.
Hal ini dikemukakan oleh pengamat politik UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, MA., dalam Seminar Nasional dan Launching Buku Hasil Penelitian Sekolah Pascasarjana UGM “Mendukung Keistimewaan Yogyakarta Melalui Perspektif Keilmuwan Multidisiplin Guna Membangun Kemandirian Bangsa”, Selasa (28/10) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Purwo mengatakan masyarakat Yogyakarta selama ini sudah terbiasa dalam mengelola paradoksal pemikiran sebagai strategi budaya. Ia mencontohkan golong gilig yang ada di Tugu meskipun tidak lagi bulat namun nilai-nilai yang ada di dalamnya, yaitu persatuan dan kesatuan bersama raja masih tetap melekat.
“Sama halnya kalau kita lihat Siti Hinggil yang ada di Kraton masih tetap bisa dipakai oleh masyarakat. Padahal itu masih bagian dari Kraton,”papar Purwo.
Purwo melihat kepiawaian masyarakat dalam mengelola paradoksal itu menjadi salah satu strategi kebudayaan. Dengan demikian reproduksi cara kerja paradoksal ini bisa menjadi gerakan dalam menjaga keistimewaan Yogyakarta. “Sekaligus untuk menangkal adanya pendangkalan makna keistimewaan tadi,” imbuhnya.
Sementara itu peneliti ICRS, Dr. Siti Syamsiyatun menilai ada pergeseran sistem nilai di tengah perubahan sosial budaya masyarakat Yogyakarta. Siti mencontohkan kurangnya sopan santun anak-anak serta ketidaktahuan mereka dalam pemakaian bahasa Jawa halus dewasa ini.
“Ada pergeseran sistem nilai anak-anak kita yang patut diperhatikan oleh orang tua,” tutur Siti.
Meskipun dikenal sebagai city of tolerance menurut Siti masih ada kekhawatiran sebagian masyarakat di Yogyakarta tentang perkembangan politik dan menguatnya identitas keagamaan tertentu. Di satu sisi terbukanya interaksi antara modernitas dan tradisionalisme diharapkan bisa disikapi secara bijaksana oleh masyarakat.
Peneliti ICRS lainnya, Dr. Jeanny Dhewayani lebih banyak menyoroti status keistimewaan Yogyakarta dari sisi pendidikan. Ia mengatakan pendidikan di Indonesia masih fokus pada sisi kognitif dan bukan pada pengembangan karakter. Selain itu dalam perjalanannya pendidikan karakter seolah-olah juga masih menjadi tanggung jawab utama dari guru agama.
“Padahal semua harus terlibat. Ya guru maupun orang tua. Arah pendidikan belum jelas maka pendidikan karakter pun ikut tidak jelas,” tegas Jeanny. (Humas UGM/Satria)