Dalam struktur kekerabatan matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau, kaum perempuan dipandang menempati posisi yang beruntung. Pasalnya mereka berhak menerima pewarisan harta pusaka, rumah, anak dan yang lainnya oleh pihak perempuan. Harta pusaka tersebut menjadi milik perempuan secara turun temurun. Akan tetapi, dalam prakteknya gelar adat (sako) sebagai salah satu bentuk harta pusaka kaum justru diwariskan kepada laki-laki.
“Terjadi penyimpangan aturan pewarisan harta pustaka yang seharusnya diberikan pada kaum perempuan. Gelar adat justru dijatuhkan pewarisannya kepada laki-laki,” kata Dosen Universitas Andalas, Dra. Silvia Rosa, M.Hum, Rabu (5/11) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Sako merupakan salah satu bagian dari harta pusaka masyarakat Minangkabau. Pewarisan gelar tersebut diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau melalui Malewakan Gala yakni tradisi pemberian gelar adat kepada laki-laki oleh kerabatnya.
Hasil penelitian pada tiga teks pidato adat Malewakan Gala Marapulai dan satu teks pidato Malewakan Gala Panghulu yang dilakukan Silvia diketahui bahwa makna pidato adat secara denotatif merupakan keharusan kultural untuk mendukung gagasan pewarisan gelar adat bagi laki-laki dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau. Kemudian secara konotatif makna dalam teks pidato mengusung gagasan bahwa laki-laki berhak mendapatkan hak waris pusaka tertinggi, terutama dalam pewarisan gelar sako adat. Hal ini menunjukkan telah terjadi subversi budaya patriarki ke dalam budaya matrilineal dalam struktur kekerabatan Minangkabau.
Temuan lain memperlihatkan bahwa pidato adat berfungsi sebagai pelegitimasi pranata budaya, pengawas pemberlakuan norma masyarakat, serta media pewarisan budaya Minangkabau. Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh juru pidato adat yang menyampaikan gagasan pewarisan gelar adat dari generasi ke generasi melalui jalur seni bertutur lisan.
Sementara berdasarkan struktur fisik, pidato adat terdiri dari bagian pembukaan, sirih pinang, pidato malewakan gala, dan penutup. Sedangkan berdasar struktur isinya teks pidato terdiri dari bagian bungo pidato adat dan batang pidato adat. Sementara pada bagian struktur isi ditemukan 12 macam pola formula utama yang kemunculannya bervariasi pada setiap teks.
“Bahkan masih bisa diperkaya lagi dengan pola formula tambahan. Pemakaian pola formula isi ini sangat dipengaruhi oleh gaya tukang pidato dan prinsip adat salingka nagari yang berlaku di Minangkabau,”urainya.
Dari hasil telaah dari stuktur, makna, dan fungsi pidato dalam tradisi Malewakan Gala Silvia menyampaikan bahwa dalam masyarakat Minangkabau yang berstruktur kekerabatan matrilineal masih terdapat bias patriarki. Dalam konstruksi kalimat teks pidato yang dibangun tidak ada satu pun pencitraan tentang perempuan sebagai tokoh penting dalam masyarakat yang berstruktur kekerabatan matrilineal. Teks pidato ada justru kaya akan pernyataan yang mengagungkan dan memuliakan kaum ninik mamak, para datuk, penghulu, urang sumando, dan marapulai. Namun, luput dari konstruksi kalimat yang memuliakan dan membesarkan kaum perempuan.
“Kenyataan tekstual ini mengindikasikan bahwa konstruksi bahasa yang digunakan dalam teks pidato adat Malewakan Gala masih bias budaya patriarki,” jelasnya.(Humas UGM/Ika)