Dalam kondisi ideal, sumber daya hutan dapat menghasilkan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu. Meski di lapangan saat ini, pengelolaan hutan secara pragmatis dan parisial hanya berorientasi pada komoditas tunggal.
Situasi seperti ini, menurut Dr. Sigit Sunarta, S. Hut., M.P, dirasa tidak cocok lagi karena terbukti timber extracting menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada hutan-hutan produksi di Indonesia. Meski begitu, dengan dimulainya peralihan pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sedikit memberi harapan baru.
“Hutan diharapkan tetap produktif dan kelestariannya tetap terjaga,” ujarnya di Temu Usaha dan Seminar “Peranan dan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam Meningkatkan Daya Guna Wawasan Hutan”, di University Center, Kamis (6/11).
Dijelaskan Sigit Sunarta, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah seluruh hasil hutan yang berupa hayati dan non-hayati (selain barang tambang) yang dihasilkan oleh hutan. HHBK dapat berupa barang (goods) antara lain getah-getahan, minyak atsiri, lemak, obat-obatan herbal, rotan, bambu dan lain-lain, serta servis berupa jasa lingkungan yang berupa kepariwisataan alam, fungsi ekologi, hidrologi dan sebagainya.
Sigit mengakui pengembangan dan pemanfaatan HHBK saat ini masih menghadapi kendala. Kesadaran geopolitik dan geostrategi Sumber Daya Hutan Indonesia belum menjadikan HHBK sebagai modal utama pembangunan kehutanan. Kontribusi HHBK dipandang belum layak dalam upaya mensejahterakan rakyat banyak.
“Negara masih mengalami kebuntuan dalam konsep, evaluasi praktek pemanfaatan HHBK maupun eksekusi pengembangannya, padahal kekayaan diversitasnya merupakan kekuatan utama bagi penyediaan green goods product maupun services product,” jelasnya.
Karena itu, katanya, diperlukan penyusunan konsep strategi pengembangan HHBK dalam memberi kerangka acuan dan arah kebijakan bagi daerah untuk membuat cetak biru bagi upaya membangun perekonomian wilayah berbasis HHBK secara berkelanjutan.
Sementara itu, Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Kehutanan, RI, DR. Is. Hilman Nugroho Ms menyatakan pemerintah di tahun 2014-2019 telah bertekad untuk meningkatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di seluruh Indonesia. Untuk itu perlu untuk mengamankan hulu dan menentukan prioritas HHBK yang akan digarap.
“Sudah ada 6 HHBK yang akan digarap, di antaranya Madu, Sutera, Gaharu, Rotan, Bambu, dan Nyamplung. Dengan strategi hulu dan enam jenis prioritas, maka berikutnya tinggal melakukan fungsi-fungsi manajeman dan sumber daya pendukung,” kata Dirjen.
Untuk keberhasilan HHBK, tandas Hilman, kuncinya pada program pemberdayaan masyarakat. Diharapkan mereka dibimbing untuk bisa masuk ke industi menengah dan industri-industri yang lebih tinggi.
“Seperti kopi sekarang ini yang sudah mendunia, kuncinya gampang ATM. Amati, Tiru dan Modifikasi,” tambahnya.
Temu Usaha dan Seminar “Peranan dan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam Meningkatkan Daya Guna Wawasan Hutan” merupakan hasil kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dan Ditjen BPDAS-PS Kementerian Kehutanan, RI. Kegiatan dalam rangka purna tugas Ir. Kasmujo, M.S dosen pembimbing Presiden RI, Jokowi, ini diisi pula dengan peresmian Asosiasi Bambu Sleman oleh Bupati Sleman, Drs. Sri Purnomo, M.Si. (Humas UGM/ Agung)