Bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam hidup manusia. Ia menjadi alat bantu utama individu untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikis, serta sosial mereka. Individu yang mengalami sejumlah gangguan berbahasa akan menghadapi sejumlah masalah besar dalam hidup mereka. Keadaan ini terjadi pada individu yang mengalami gangguan afasia. Afasia adalah gangguan bahasa pada individu yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional pada jaringan otak pada area tertentu pada daerah hemisfer serebri.
“Gangguan afasia dapat ditandai oleh adanya gangguan pemahaman dan pengutaraan bahasa, baik lisan maupun tertulis,” papar Musdalifah Dachrud pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Senin (10/11) di F. Psikologi.
Dalam disertasinya berjudul “Pengalaman Kesepian Pada Penderita Afasia Pascastroke”, Musdalifah menjelaskan bahwa penderita afasia pascastroke seringkali menjadi pribadi yang mudah tersinggung, impulsif, marah atau agresif terhadap orang lain. Secara khusus, keterisolasian secara fisik dan sosial secara psikis dapat mereka hayati sebagai perasaan terbuang dari orang lain.
“Dampaknya mereka akan merasa kesepian. Mereka merasa sepi dan sedih akibat kerinduan untuk berhubungan dengan orang lain,” tutur dosen tidak tetap pada STIKES Muhammadiyah Manado itu.
Ia mengatakan kesepian yang dirasakan subjek mencakup kesepian fisik, kesepian emosional, kesepian sosial, maupun kesepian eksistensial. Keterbatasan fisik menyebabkan subjek mengalami kesepian fisik, merasa jengkel, marah, dan sedih adanya ketidaksejalanan antara dorongan psikis dan respon tubuhnya.
Salah satu mekanisme yang ditempuh individu untuk keluar dari pengalamannya tersebut adalah dengan melakukan transformasi diri. Individu berusaha mengubah pandangan-pandangan mengenai diri, hidup, dan gangguan yang dijalani.
“Proses transformasi diri menjadikan individu menemukan dirinya yang baru. Mereka menjadi pribadi yang lebih matang,” katanya.
Di akhir paparan Musdalifah menyarankan agar penderita afasia terus optimis dan berusaha agar penyakitnya dapat pulih. Terbukti ada beberapa subjek yang awalnya mengalami gangguan afasia sangat parah, mereka dapat pulih dengan tingkat kepulihan yang sangat baik.
Selain itu bagi kelompok yang peduli dengan penderita afasia, perlu dibentuk komunitas peduli afasia pada level lokal dan nasional. Hal ini perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat mengenai gangguan afasia dan cara penangannya.
“Dalam proses pemulihan itu dukungan sosial menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan,” pungkasnya. (Humas UGM/Satria)