Upaya mitigasi dan penanganan perubahan iklim perlu dimasukkan dalam konsep pembangunan berkelanjutan daerah yang memperhatikan kekhasan ekosistem, masyarakat, dan perekonomian setiap daerah. Pasalnya kondisi lingkungan, sosial, ekonomi setiap wilayah Indonesia sangat bervariasi sehingga melahirkan tantangan yang berbeda di setiap wilayah. Hal tersebut mengemuka dalam Semiloka Regional Jawa dan Bali Nusra “Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Pembangunan Daerah”, Senin (10/11) di Hotel Melia Purosani Yogyakarta.
Dalam kegiatan digelar atas kerjasama Badan Pengelola REDD+ Indonesia dengan Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK) ini sekitar 100 akademisi, peneliti, dan pihak terkait di bidang perubahan iklim dan kehutanan berdiskusi dan mengkesplorasi lebih dalam rasionalitas lokal untuk memperkuat rancangan pembangunan berkelanjutan nasional. Menghadirkan pembicara Dr. Nur Masripatin, Deputi Bidang Tata Kelola dan Hubungan Kelembagaan BP REDD+, Dr. Mahawan Karuniasa, Koordinator region Jawa BP REDD+, dan Dr. Satyawan Pudyatmoko, Ketua Umum Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) Nasional.
Nur Masripatin mengatakan perubahan iklim telah menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Meski telah menjadi isu global sejak 10 tahun terakhir, upaya pengurangan dampak perubahan iklim masih terkesan lambat. Bahkan belum menjadi prioritas dalam pembangunan di sejumlah negara.
“Padahal penting untuk segera melakukan mitigasi perubahan iklim secara serius,” jelasnya.
Setiap negara, kata dia, memiliki kepentingan masing-masing dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Berbagai pertimbangan baik dari aspek ekonomi, politik, dan sosial turut berpengaruh dalam usaha tersebut.
“Perhatian masyarakat dunia perlu dikembalikan lagi untuk fokus pada langkah-langkah mengatasi perubahan iklim,” tandasnya.
Nur Masripatin menyebutkan bahwa pihaknya terus mendorong berbagai upaya pengendalian perubahan iklim, termasuk yang dilakukan APIKI. Ia berharap jejaring kerja yang terdiri dari perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga pendidikan ini bisa menjadi ‘think tank’ yang bisa bersinergi dengan seluruh pihak terkait dalam mendorong usaha mitigasi dan penyedia informasi hasil penelitian perubahan iklim dan pengelolaan hutan.
Ketua Umum APIKI Nasional, Dr. Satyawan Pudyatmoko mengatakan bahwa banyak penelitian dan kegiatan ilmiah terkait perubahan iklim dan kehutanan yang dilakukan oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia. Karenanya pihaknya siap bersinergi dengan berbagai pihak terkait untuk memberikan masukan implementatif terhadap isu perubahan iklim.
“Banyak hasil kajian ilmiah yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi yang bisa dimanfaatkan sebagai mitigasi nyata untuk memberikan dukungan strategis terhadap posisi dan peran Indonesia dalam negosiasi internasional terkait perubahan iklim di bidang kehutanan dan lahan gambut,”papar Dekan Fakultas Kehutanan UGM ini.
Sementara Dr. Mahawan Karuniasa, Koordinator region Jawa BP REDD+ mengatakan bahwa masalah ledakan penduduk dan penurunan daya dukung lingkungan menjadi tantangan terbesar dalam upaya mengatasi perubahan iklim di wilayah Jawa dan Bali Nusa Tenggara. Kedua persoalan tersebut menjadikan ketiga pulau Indonesia itu menjadi sangat rawan terhadap dampak perubahan iklim.
Berkaca dari berbagai persoalan tersebut, Mahwan menegaskan pentingnya pengarusutamaan mitigasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan Indonesia kedepan. Berbagai terobosan diperlukan untuk meminimalisir dampak dari perubahan iklim. Misalnya saja, untuk Pulau Jawa perlu diperkuat pelaksanaan tata ruang yang optimal.
“Dengan begitu tutupan hutan yang tersisa masih bisa menjaga jasa lingkungan air dan udara bersih,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)