Proyek PIST di Tuban Jawa Timur merupakan bagian dari kapitalisasi pertumbuhan cepat pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh rezim otoriter. Penetapan Kabupaten Tuban sebagai daerah pengembangan industri semen sebenarnya harus dilakukan melalui kesepakatan dengan lembaga legislatif daerah dan kelompok-kelompok masyarakat, tetapi di dalam realitasnya penetapan tersebut dilakukan secara topdown dan mengabaikan lembaga legislatif maupun kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Demikian diungkapkan Drs. Hilmy Mochtar, MS dalam disertasi berjudul “Politik Mobilisasi Dukungan Pembangunan Industri Semen Tuban (1989-1998)” saat menempuh Ujian Terbuka Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Ilmu Politik) pada hari Selasa, 9 Agustus 2005 di Ruang Pascasarjana UGM.
Dekan Fisipol UNDAR Jombang ini menyimpulkan, dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa, (i) politik mobilisai dukungan diterapkan oleh pemerintah Orba adalah mobilisasi ynag militeristik dan mengabaikan rakyat. Mobilisasi dukungan seperti ini sudah tidak relevan lagi diterapkan pada sebuah proyek industri—seperti halnya pada pembangunan industri semen—karena kondisi sosial dan politik yang makin dinamis dan transparans. Sehingga untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam pembangunan sebuah proyek industri diperlukan model mobilisasi yang lebih memperhatikan aspirasi rakyat dan lebih persuasif. Adapun peran institusi pemerintah dan institusi militer, harus diletakkan sebagai fasilitator atau mediator apabila timbul konflik antara rakyat dan industri, bukan merupakan bagian dari konflik itu sendiri. (ii) mobilisasi langsung yang dilakukan oleh institusi militer dan birokrasi pemerintah maupun mobilisasi tak langsung yang diperankan oleh lembaga sosial dan pemilik kapital, tidak berhasil mendapatkan dukungan rakyat. Karena rejim yang secara politik menggunakan otoriterisme tetapi secara ekonomi menggunakan kapitalisme, sehingga keberhasilan yang diperoleh pemerintah adalah keberhasilan yang sangat artifisial. (iii) gerakan-gerakan sosial dalam berbagai bentuk sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah merupakan hal yang sangat krusial dalam politik, sehingga konsep ‘rejim pembangunan’ yang ‘state oriented’ menjadi kurang memadai untuk menjelaskan fenomena politik Indonesia apabila tanpa menyertakan elemen-elemen masyarakat yang berada di luar jangkauan negara. “Oleh karena, studi tentang politik Indonesia yang menyertakan elemen-elemen gerakan sosial independen atau gerakan civil society sebagai bagian penting dalam politik, mungkin perlu mendapat perhatian lebih serius dari para peneliti lain,” tutur promovendus kelahiran Malang 1 Januari 1952 yang saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cab. Jombang ini.
Promovendus dengan predikat Cum-laude yang saat ini sebagai Direktur Eksekutif PSP2L UNDAR Jombang ini juga berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat yaitu (i) dapat memberi sumbangan teoritik bagi perkembangan ilmu politik yaitu dengan menemukan kerangka konseptual yang bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan fenomena hubungan negara-rakyat dalam politik Indonesia; (ii) dapat menjadi kritik bagi para pelaku politih dan pemerintahan agar dalam menentukan kebijakan pembangunan ekonominya lebih memperhatikan elemen-elemen politik dan sosial yang ada di daerah. (iii) sebagai sumbangan pemikiran bagi para aktor politik, pelaku ekonomi dan tokoh masyarakat yang berperan di adalam interaksi pemerintah-rakyat. (Humas UGM)