![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/17111414162014271932601350-765x510.jpg)
Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Ir. Adjar Prayudi, MCM., MCE mengatakan membangun kembali daerah pascabencana tidaklah mudah. Selain memerlukan perhitungan atau perencanaan yang matang dan keterlibatan penuh warga masyarakat, juga memerlukan kerjasama yang baik melalui koordinasi dan komunikasi yang jelas dan saling transparan agar tumbuh saling percaya, saling memperkuat dan saling memerlukan di antara pemangku kepentingan.
“Sesuai dengan lingkup tugasnya, rehabilitasi dan rekonstruksi rumah dan permukiman penduduk pascabencana menjadi tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, yakni menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evalusi”, katanya, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Senin (17/11) saat membuka “Kuliah Umum-Belajar Dari REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas): Menuju Permukiman Lestari”.
Kegiatan kuliah umum merupakan rangkaian kegiatan Kenduri Budaya “Gunung Omah”, hasil kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum. Kegiatan yang menghadirkan pembicara Prof. Ir. Widodo, MSCE., Ph.D (Guru Besar Kegempaan Program S2 Teknik Sipil UII), Prof. Dr. M. Baiquni, M.A (Guru Besar Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi UGM), dan Dr. Bambang Hudayana, M.A (Kepala Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan UGM), ini diisi pula dengan penandatanganan kerjasama antara Fakultas Geografi UGM dan Ditjend Cipta Karya terkait kegiatan REKOMPAK.
Dikatakan Adjar Prayudi, Perka No. 5 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascasabencana Erupsi Merapi 2010 menyebutkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah dan permukiman pascaerupsi Merapi 2010 dilakukan dengan skema REKOMPAK melalui pendekatan relokasi permukiman dari Kawasan Rawan Bencana (KRB) ke wilayah yang lebih aman. Sebagai salah satu proyek dalam pengendalian Ditjend Cipta Karya, REKOMPAK telah memfasilitasi warga membangun kembali 476 unit rumah di Kabupaten Magelang dan 2040 di Kabupaten Sleman yang tersebar di 26 titik hunian tetap (huntap) di wilayah yang lebih aman.
“Di huntap ini dilengkapi 312 titik kegiatan infrastruktur dasar permukiman dan prasarana untuk kebutuhan Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Selain itu, REKOMPAK memfasilitasi pembangunan 1145 titik kegiatan infrastruktur dasar yang tersebar di 106 desa yang terkena dampak erupsi di Kabupaten Sleman, Klaten, Magelang dan Boyolali,” paparnya.
Adjar Prayudi mengakui relokasi dimaknai bukan sekedar memindahkan permukiman secara fisik, tetapi memindahkan kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dimulai sejak awal tahun 2011 tersebut penuh dengan dinamika yang menarik. Isu sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya.
“Tantangan yang dihadapi dan dilalui dengan seluruh dinamikanya telah membentuk pengalaman sekaligus pengetahuan tentang bagaimana proses pembangunan permukiman seharusnya dilakukan,” tuturnya.
Dekan Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc mengungkapkan banyak pihak perlu belajar dari REKOMPAK dalam proses pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi, terutama penanganan pascabencana di wilayah selatan Merapi. Karena sebagai negara rawan bencana, Indonesia dalam waktu sepuluh tahun terakhir terus mengalami kejadian bencana secara bertubi-tubi.
“Dari pengalaman menguji dan membimbing, sebagai pembelajar geografi manusia, belajar dari beberapa proses rehabilitasi dan rekonstruksi, ada beberapa hal yang ingin saya garis bawahi bahwa masyarakat DIY memiliki modal sosial yang sangat besar untuk kembali dari keterpurukan dan membangun kembali penghidupannya setelah bencana. Tentang modal sosial, saya kira semua paham, adanya mutual trust, saling percaya satu dengan yang lain. Barangkali dalam konteks rehabilitasi dan rekonsiliasi, itu mungkin dimasyarakat lebih dikenal dengan gotong royong,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)