Direktur Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, Ir. Heru Siswanto, M.M., menyatakan Perum Perhutani telah menyiapkan lahan seluas 200 – 250 ribu hektar untuk mendukung Program Ternak Masuk hutan guna mendukung Program Kedaulatan Pangan nasional. Dengan mengelola ternak masuk dalam kawasan hutan, ini diharapkan mampu menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar hutan.
“Sejak Perum Perhutani berdiri mengelola hutan di Jawa dan Madura selalu melibatkan masyarakat sekitar hutan. Hanya saja dalam pengelolaan selama ini hanya fokus pada hasil kayu dan non kayu”, ujar Heru Siswanto, di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (20/11) pada “Workshop Pengelolaan Penggembalaan di Hutan Jati Untuk Mendukung Program Kedaulatan Pangan/Daging”.
Dikatakannya, Perum perhutani sudah sejak lama mendapat kewenangan mengelola hutan di Jawa dan Madura seluas 2,4 juta ha. Dari jumlah tersebut 1,6 juta ha diantaranya merupakan hutan produksi. Dari areal hutan yang dikelola Perum Perhutani, tidak kurang dari 20 juta masyarakat di sekitar hutan di Jawa dan Madura langsung berinteraksi dengan lahan Perum Perhutani. Sehingga jika titik berat selama ini hanya pada Program Tumpangsari yang menghasilkan produk tanaman pangan, maka akan menjadi indah dan hebat bila ditunjang dengan program ternak masuk hutan.
“Bicara Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, memang ternak tidak bisa masuk ke dalam hutan, karena di situ juga ada kriterianya terutama yang berkuku. Tapi apalah artinya larangan, jika kerbau atau sapi tetap saja masuk. Sehingga barangkali justru pada wokshop hari ini, kita akan menentukan dan membuat konsep yang bisa aplicable di lapangan agar masyarakat berinteraksi langsung dengan kawasan hutan di Perum Perhutani, sehingga tidak hanya berproduksi pangan saja, tapi juga dari bisa menghasilkan produksi ternak,” ujarnya.
Prof. Dr. Ali Agus menambahkan diakui atau tidak kendala peternakan semakin lama semakin banyak importasi karena adanya keterbatasan lahan. Karena itu, upaya optimalisasi untuk mengembangkan peternakan perlu dilakukan melalui beberapa tahapan.
“Optimalisasi peternakan mau tidak mau memerlukan pakan, dan pakan paling murah berupa rumput. Rumput membutuhkan lahan dan lahan paling luas adalah hutan, setelah itu baru mengembangkan ternak dengan melibatkan masyarakat, menguatkan kelembagaan dengan mendapat dukungan pemerintah serta pendampingan berupa transfer teknologi,” tuturnya.
Sementara itu, Dr. Hargo Utomo, MBA., M.Com menyatakan pengembangan industri peternakan di lahan hutan Perhutani sudah seharusnya dilandasi prinsip investasi sosial yang bersifat jangka panjang. Bukan lagi sekedar tanggungjawab sosial perusahaan.
Dijelaskannya, investasi sosial (social investment) pada dasarnya adalah piranti untuk membantu aktivitas Perhutani dalam meningkan imbas finansial dan sosial (financial and social impacts). Karena itu, kesadaran mengenai prinsip investasi merupakan pondasi untuk pembentukan perilaku konstruktif bagi para pihak yang berpartisipasi dalam industri peternakan di lahan hutan. (Humas UGM/ Agung)