![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/12/08121414180250151238845807-825x435.jpg)
Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi UGM mendesak Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk segera memberikan penjelasan agenda dan jaminan penegakan hukum antikorupsi kepada publik. Hal itu disebabkan hingga saat ini kondisi penegakan hukum antikorupsi belum menunjukkan kemajuan yang jelas. Bahkan sejumlah upaya yang dilakukan justru terlihat tidak mengarah pada dukungan pemberantasan korupsi dengan menempatkan politikus partai dalam pos jabatan penting di institusi hukum.
“Sebenarnya mau kemana langkah penegakan hukum pemerintahan saat ini?” kata peneliti PUKAT Korupsi UGM, Hifdzil Alim, Senin (8/12) saat konferensi pers menjelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh pada 9 Desember besok.
Tak hanya itu, PUKAT Korupsi UGM juga mendesak penegak hukum di daerah untuk bekerja secara serius dan saling bersinergi dalam pemberantasan tindak korupsi. Dalam upaya penegakan hukum aparat penegak hukum diharapkan bisa bekerja profesional dan tidak takut terhadap kelompok politik tertentu.
“Penegak hukum di daerah seperti kejaksaan, kepolisian dan institusi terkait yakni inspektorat dan BPKP diharapkan bisa bekerja dengan lebih serius dalam memberantas korupsi,” ujarnya.
Pasalnya, kata dia, selama ini ini penegakan hukum antikorupsi di daerah masih jalan di tempat. Beberapa kasus besar di daerah tidak bisa ditangani dengan maksimal. Apalagi dengan terpilihnya pucuk pimpinan penegak hukum dari unsur partai politik, semakin menambah kekhawatiran akan memperlambat langkah pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurutnya, pemerintah daerah harus menginisasi rencana aksi daerah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Karena hingga saat ini tidak banyak pemerintah daerah yang membuat inisiatif aksi daerah baik untuk mencegah dan memberantas korupsi.
“Kondisi ini sangat miris mengingat daerah merupakan korupsi tetapi tidak punya alat pencegahannya,” katanya menyayangkan.
Peneliti PUKAT Korupsi lainnya, Zainurohman mengatakan upaya reformasi birokrasi yang menjadi agenda pertama pemerintahan Jokowi-JK memberikan angin segar dalam usaha pemberantasan korupsi. Namun, ia berharap reformasi birokrasi yang dijalankan tidak hanya berakhir pada instruksi pola hidup sederhana dan pengetatan anggaran perjalanan dinas saja. Lebih dari itu yang perlu difokuskan pada upaya penegakan hukum antikorupsi.
“Jangan hanya berakhir pada ubi dan singkong saja, tetapi yang substansial adalah penjeraan dan penegakan hukumnya,” tandasnya.
Syamsudin dari LBH Yogyakarta menyampaikan kedepan perlu dirumuskan tindakan progresif dalam penindakan kasus korupsi yakni dengan menggunakan perspektif HAM. Hal itu penting dilakukan mengingat korupsi bukan kaus pelanggaran biasa.
“Sebaiknya aparat penegak hukum tidak semata-mata memakai UU Tipikor, tetapi dalam pertimbangan hukum juga mengutip UU HAM untuk membuat jera pelaku korupsi,” jelasnya.
Data ICW Maret 2014 menunjukkan dari 734 kasus korupsi sebanyak 593 diantaranya dinyatakan bersalah, 101 diputuskan bebas, 31 divonis lepas, dan 9 kasus dinyatakan tidak diterima. Namun dari seluruh terpidana korupsi tersebut belum ada satu pun yang dijatuhi hukuman maksimal sehingga tidak menimbulkan efek jera.
“Hukuman maksimal seumur hidup pada pelaku korupsi tidak pernah digunakan oleh hakim,” terangnya.
Sementara Tri Wahyu KH dari Indonesia Court Monitoring mengungkapkan keprihatinan terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam penanganan kasus korupsi di daerah. Penanganan kasus korupsi masih terkesan lambat dan belum menunjukkan kemajuan siginifikan.
Selain mendesak pemerintah memberikan penjelasan tentang afenda dan jaminan penegakan hukum antikorupsi, PUKAT dan Masyarakat Anti Korupsi DIY juga mendesak para elite partai politik Koalisi Indonesia Hebat dan Kolisi Merah Putih serta anggota DPR periode 2014-2019 untuk mengakhiri perseteruan politik di parlemen. Kemudian mulai fokus melaksanakan tugas dan kewenangannya. Lalu membuat inisiatif perbaikan partai politik yang mencegah dan mendukung pemberantasan korupsi. (Humas UGM/Ika)