YOGYAKARTA – Permasalahan daya saing bangsa jelas merupakan masalah utama dalam memasuki era global apalagi tahun 2015 ini kita akan memasuki era pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Rendahnya tingkat daya saing kualitas SDM Indonesia menjadi tugas berat bagi dunia pendidikan tinggi. Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengakui hal itu. Meski demikian, imbuhnya, daya saing bangsa harus ditingkatkan dengan melakukan perubahan paradigma pendidikan. Salah satu kebijakan yang diambil UGM adalah melakukan reorientasi akademik dari sebelumnya berorientasi riset menuju socio-entrepreneur university. “Saat ini kita melakukan reorientasi, mendidik mahasiswa menjadi socio-entrepreneur yakni menjadikan mereka inovator yang siap menghadapi segala macam tantangan,” kata Dwikorita saat memberi keterangan kepada wartawan usai menyampaikan pidato Laporan Rektor Universitas Gadjah Mada pada puncak peringatan Dies Natalis ke-65 UGM di Graha Sabha Pramana, Jumat (19/12).
Perubahan orientasi akademik UGM dari sebelumnya universitas riset ke arah socio-entrepreneur university, kata Dwikorita, inovasi menjadi salah satu penggerak utama. Berbagai pusat inovasi lalu dikembangkan untuk menyiapkan beragam produk hasil riset unggulan UGM yang kemudian dihilirkan ke masyrakat dan kalangan industri. “Yang kami lakukan saat ini meluncurkan beberapa produk kesehatan, soalnya teknologi kesehatan kita mayoritas masih impor,” kata Rita, demikian ia akrab disapa.
Selain di bidang kesehatan, orientasi riset UGM juga diarahkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Rita menyebutkan seluruh kegiatan riset UGM diarahkan untuk mengatasi masalah di bidang energi, pangan, manufaktur, kemaritiman dan heritage. “Prose pembelajaran S1,S2 dan S3 pun juga diwarnai dari bidang-bidang itu,” katanya.
Dalam laporan tahunan yang disampaikan Rita dihadapan Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) dan civitas akademika UGM, sepanjang tahun 2014, UGM berhasil menghilirkan 8 produk penelitian bidang kesehatan dan kedokteran ke masyarakat da industri. “Terakhir kita meluncurkan produk bone graft diberi nama Gama-Cha,” katanya.
Dalam waktu dekat, ujar Rita, UGM segera meluncurkan produk riset berupa alat deteksi dini kanker leher kepala dan haemostatic sponge. Produk alat kesehatan lain yang nantinya bekerjsama dengan industri seperti produk stent (ring) jantung Indonesia berharga lebih murah dan VP-Shunt (pipa untuk mengalirkan caitran otak anak penderia hidrosefalus).
Ketua MWA UGM Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA sependapat dengan Dwikorita bahwa perguruan tinggi seharusnya bisa mengubah cara pandang akademiknya tidak lagi hanya sebatas mengembangakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya perguruan tinggi dengan tugas tri darmanya diharapkan ikut serta memecahkan masalah. Sofian mencontohkan persoalan kemiskinan yang hingga kini tak pernah selesai karena model pendekatan cara pandang dengan satu disiplin keilmuan. “Diperlukan pendekatan keilmuan interdisiplin, transdisiplin,” ujarnya.
Dikatakan Sofian di bidang kesehatan dan obat masih menjadi persoalan pelik di Indonesia. Dia mengatakan harga obat-obatan harganya hampir 3-4 kali lipat lebih mahal dari negara lain. “Padahal bahan obat itu berlimpah ruah di tempat kita.,” ujarnya.
Sementara Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) Prof. Dr. Sri Suryawati, Apt., dalam pidato ilmiahnya menuturkan para peneliti bidang kesehatan dari UGM sejak dahulu telah memberikan kontribusi pada masyarakat. Kepedulian tersebut muncul atas kondisi ketidak keterjangkauan tindakan medis dan mahalnya peralatan kesehatan yang umumnya mayoritas impor. Salah satunya yang dilakukan oleh Prof Sudiharto, dosen FK UGM ini berhasil membaut alat terapi untuk penderita hidrosefalus lewat pirau katup semilunar yang dikembangkan sejak 1978 dan hingga kini telah menolong lebih dari 7000 penyandang hidrosefalus.
Tidak hanya itu, kata Suryawati, UGM juga telah sejak lama berpartisipasi lewat para pakarnya dalam merumuskan berbagai kebijakan, strategi dan pedoman internasional melalui kiprah mereka di Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Bahkan Suryawati sendiri menyebutkan kiprah dirinya saat ini yang telah terpilih menduduki jabatan sebagai Dewan Pengawas Narkotika Internasional PBB yang beranggotakan 13 orang. “Prestasi ini berkat kepakaran dan kemampun diplomasi yang dipupuk dan diasah selama saya berada di dalam kampus ini,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)