![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/12/241214141940323417067931-680x510.jpg)
YOGYAKARTA – Karya sastra milik Badrul Munir Chair, menjadi bahan diskusi oleh para peserta Diskusi Sastra Bulanan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa Malam (23/12). Badrul Munir merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sekaligus seorang penulis puisi dan cerpen di sejumlah media massa. Novelnya Kalompang (Grasindo, 2014) pernah mendapatkan penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kali ini, beberapa karya puisi Badrul seperti “Lelaki yang Pergi Malam Hari” (2013), “Sungai Berkelok” (2013), “Selat Madura” (2011), “Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini” (2012), “Mula dan Berakhirnya Sebuah Kota” (2012), dan “Sonet Pengembara” (2014) menjadi tema diskusi.
Irwan Bajang, sastrawan muda yang juga pemimpin redaksi Indie Book Corner (IBC), mengatakan puisi Badrul menunjukkan bahwa seorang penyair tak akan bisa lepas dari segala entitas kedirian awal, sebagai muasal dirinya. Puisi “Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini” bisa dikategorikan sebagai puisi sufistik dengan pemilihan diksi yang menunjukkan bahwa ia tak bisa lepas dari istilah-istilah ke-maduraan-nya. “Garam, tembakau, ikan, laut, palung, seolah ikan yang ia jadikan aku lirik dalam puisi ini pun bersaksi tentang perjalanan kaki di jembatan tua dan nelayan di tepi pantai,” ungkapnya.
Puisi-puisi Badrul berada di tengah situasi tradisi masyarakat yang memandang bahwa tanah kelahiran itu penting, sehingga pulang kampung itu penting. “Badrul terjebak atau mungkin sengaja menceburkan diri dan tak mau lepas dari situasi masyarakat yang demikian,” tuturnya.
Lain halnya dengan Irwan, Galuh Febri Putra, mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM melihat puisi Badrul dari sisi yang berbeda. Salah satu penggalan puisi “Tunjukkan Kami Jalan yang Lurus”, kata Galuh, Badrul mengingatkan kita pada salah satu ayat di dalam Alquran. Namun pesan yang disampaikan di situ, Badrul menegaskan bahwa sebuah perjalanan merupakan usaha untuk melarikan diri dari batas-batas yang disematkan oleh sebuah tempat. Apalagi dilengkapi dengan “Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat singgah. Maka, pergilah!. (Humas UGM/Izza)